Kadang membelah hutan, kadang berlumur lumpur, kadang bersimbah air, kadang digelimuni debu, kadang tersasar di hutan dan tidak tahu mesti bertanya kepada siapa, kadang dikejar-kejar anjing, tetapi kami mesti bertahan hingga ke garis finis. ~ Irma Firnanda, Srikandi Motocross Indonesia
Saya memang penyuka balap motor. Lebih tepatnya, suka menonton adu balap motor. Itulah sebabnya saya setuju tatkala diminta pengelola Kompasiana untuk mengikuti konferensi pers Tim Reli JNE-Furukawa, Selasa (7/8/2018), di Kantor Pusat JNE.
Jakarta sedang cerah. Jalan-jalan lengang dan lapang. Perjalanan dari bilangan Cikini ke Tomang cukup singkat. Tidak banyak makan waktu. Kebijakan plat ganjil-genap mulai terasa tuahnya. Dulu saya pernah menempuh rute Cikini-Tomang selama sejam setengah. Hari ini lancar.
Saya tiba di Kantor Pusat JNE 10 menit sebelum acara dimulai. Rasanya seperti berada di ruang tunggu bandara, merasa asing dan sendirian karena tidak kenal siapa-siapa. Saya pun menenggelamkan diri ke layar gawai. Sekali-sekali jepret sana-sini, sesekali menikmati iklan layanan JNE di dua layar putih yang terpajang di sisi kanan kiri panggung utama.
Semesta seperti mengirim semacam pertanda. Kode keras. Saya tidak bisa mengendarai sepeda motor dan sekarang harus meliput sekaligus menulis tentang balap-balapan. Tidak apa-apa. Saya sering menulis cerita tentang tokoh korban persekusi dan perundungan, meskipun saya tidak pernah merasakannya.
Selagi asyik bercuit di Twitter, seseorang menyalami dan menyapa saya. Rudy Poa. Beliau manajer tim reli Indonesia. Semula beliau pembalap tangguh yang digadang-gadang ikut reli sejauh 2.400 km dari Thailand hingga Kamboja, namun beliau memilih mundur.Â
Alasannya, beliau mulai ringkih dan dunia balap Indonesia butuh regenerasi.
Mata beliau berpijar-pijar setiap kata demi kata meluncur dari bibirnya, seolah-olah matanya sedang merapal doa-doa pengharapan. Harapan supaya tim reli Indonesia berbicara banyak, berdiri di podium juara, dan mengharumkan nama bangsa.
Setelah obrolan singkat usai, saya ke meja di depan ruangan untuk registrasi. Ternyata saya keduluan tiga orang berkacamata. Mereka sudah saling mengenal. Sama-sama rutin menulis di Kompasiana. Mereka menamai diri " barisan juru gesrek".Â