Orang-orang di media sosial beramai-ramai mengajak orang lain untuk mensukseskan Asian Games 2018. Jangankan Menpora, Presiden ikut mengajak saya untuk mensemarakkan Asian Games pun tetap akan saya tolak. Masa bodoh atas apa pun tanggapan kalian.Â
Barangkali kalian mengira saya main-main, sekadar bercanda, atau tengah apatis terhadap negara tercinta. Tidak, saya sangat serius. Pendapat dan sikap itu sudah saya tandaskan di mana-mana. Baik di media sosial maupun di forum-forum formal.
Kalian tidak usah sewot. Apalagi marah-marah dan meledek saya sebagai warga negara yang tidak tahu diri. Kalian berhak menjadi warga negara yang baik dengan mensukseskan Asian Games. Silakan saja. Itu hak kalian. Namun, jangan paksa saya karena saya berhak menolak.
Kalian tidak perlu marah. Apalagi sampai meradang dan menerjang tanpa berpikir panjang. Kepala boleh panas, hati biarkan tetap dingin. Dengan atau tanpa saya, Asian Games tetap akan terselenggara dengan baik. Percayalah.
Lagi pula, saya bukan siapa-siapa. Bukan Gubernur Palembang, bukan Gubernur DKI Jakarta. Ups, salah. Mana ada Gubernur Palembang? Ada juga Gubernur Sumatera Selatan. Untung ada yang kasih saran perbaikan.Â
Tetapi kamu warga Indonesia! Barangkali kalian berpikir demikian. Itu benar. Saya masih tercatat sebagai Warga Negara Indonesia. Rajin pula membayar pajak penghasilan selaku penulis, walaupun hingga saat ini negara tidak mencantumkan penulis sebagai profesi di kolom tanda pengenal.
Kamu bisa mensukseskan Asian Games lewat kampanye positif di media sosial! Mungkin kalian berpendapat demikian. Kalian benar. Meramaikan tidak berarti harus ke stadion. Harga tiket mahal. Penulis bukan karyawan yang menerima gaji tetap setiap bulan.
Akan tetapi, jangan paksa saya berkampanye di Facebook, Twitter, atau Instagram demi mensukseskan helat apik itu. Saya bisa saja berdoa di depan layar kaca supaya atlet Indonesia meraih medali sehingga kita sukses sebagai penyelenggara sekaligus peserta.
Saya juga mampu memasang bendera merah putih atau umbul-umbul warna-warni di pagar rumah. Karena tidak punya tiang dari besi, tiada salahnya saya ikuti warga Jakarta yang memakai tiang bambu. Selokan yang mampet akan saya benahi agar tidak bau, walaupun tidak harus saya taburi bubuk pengurai bau busuk. Toh atlet tamu tidak akan melintas di depan rumah saya.
Pagar dari bilah-bilah bambu pun mampu saya cat warna-warni, persis pembatas jalan di Jakarta yang sempat dicat pelangi. Kalau sekadar beli cat murahan mah penulis juga mampu. Asal jangan diminta mengecat rumah. Soalnya cat sisa Lebaran ngejreng. Belum pudar sama sekali.