Soalnya bukan setuju atau tidak setuju, tapi sekubu atau tidak sekubu.
~ K.H. Ahmad Mustofa Bisri, Ulama
Seorang anak muda berusia 17 tahun, yang saat itu dikenal arogan dan angkuh, menjadi bagian timnas Brasil pada Piala Dunia 1958. Enam gol ia sarangkan ke jala lawan selama babak gugur. Bahkan ia mencetak tiga gol di babak semifinal dan dwigol di babak final.Â
Meskipun tidak terpilih sebagai pencetak gol terbanyak, pemuda belasan tahun itu menorehkan sejarah bagi bangsanya. Tahun itu, kali pertama Brasil merayakan gelar juara dunia. Anak muda itu sekarang sudah tua. Kita mengenalnya sebagai Pele.
Dua puluh tahun setelahnya, juara baru kembali lahir. Giliran Mario Kempes yang beraksi di negaranya sendiri, saat itu Argentina selaku tuan rumah, dan akhirnya Tim Tango meraih gelar juara dunia pertama pada Piala Dunia 1978.Â
Dua puluh tahun kemudian, sejarah berulang. Adalah Zidane dan kolega yang mengangkat piala dan berpesta merayakan gelar pertama mereka pada Piala Dunia 1998. Salah satu pemain yang mencicip gelar juara dan sekarang ada di timnas Prancis adalah Deschamps. Tetapi selaku pelatih, bukan pemain.
Siklus itu kini tiba pada edarnya. Sudah dua puluh tahun berlalu. Jika tuah siklus itu masih mujarab, tahun bakal ada juara baru. Saya sudah menyatakan itu dalam tulisan saya tentang Piala Dunia 2018. Memang bukan ramalan, memang sekadar prakira, tetapi kadang yang sekadar justru menjadi besar.Â
Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit.
"Saya tetap memilih Prancis," katanya mendesah.