Pengalaman tidak ada artinya tanpa pendalaman. Tidak sedikit laki-laki yang mengaku mengerti dan memahami perasaan perempuan, padahal mereka tidak mengerti dan tidak memahami apa-apa.
NAMAKU MUNSYI. Lengkapnya, Munsyi Apparemba.
Kata ayahku, makna namaku sangat dalam--bahasawan yang tekun mengajak dan mengajar. Nama yang disematkan sepenuh cinta sering kali menjadi doa yang makbul. Tampaknya harapan ayahku terkabul.
Sejak di sekolah menengah aku rajin menganjurkan teman-teman supaya menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sekarang, setelah kuliah, aku tetap seperti itu. Malah makin menjadi-jadi. Dosen saja kalau keliru pasti kutegur, apalagi sesama mahasiswa. Dan, sensasinya menyenangkan. Kadang puas juga melihat seseorang yang tidak suka dikritik tiba-tiba memerah kupingnya, yang enggan ditegur mendadak urat-urat di rahangnya bergerak-gerak. Mereka gusar dan marah, tapi hanya menelan kegusaran dan kemarahan.Â
Apakah aku tidak merasa takut? Tidak, aku tidak mengenal takut. Selama apa yang kulakukan kuanggap benar, aku tidak takut.
Badanku kekar, dadaku bidang. Mataku telaga teduh--dengan permukaan tenang tempat ikan-ikan berenang aman dengan riang. Jika hatiku sedang gembira, kamu pasti akan merasakan keteduhan mataku hanya dalam satu-dua tatapan. Jika hatiku berduka, kamu akan merasakan getar ketabahan memancar dari mataku. Setidaknya begitulah yang teman-teman kampus katakan tentang diriku.
Umurku baru 23 tahun. Sebulan lagi sudah 24 tahun. Tahun ini, jika semuanya berjalan lancar, aku akan diwisuda. Tampaknya akan berjalan lancar, sebab aku hanya memikirkan kuliah. Beda dengan mahasiswa lain yang kerepotan membagi waktu: buat kuliah dan buat pacaran. Mahasiswa lain di Pondok Cina, kawasan di sekitar kampus UI tempatku mengontrak rumah, rata-rata sudah punya kekasih. Sam di antaranya.
Aku belum. Hingga hari ini masih jomlo. Hidup sendirian di tanah rantau bukan sesuatu yang memalukan. Pada tahun pertama kuliah, seorang gadis jatuh cinta kepadaku--lebih tepatnya jatuh cinta pada kata-kataku. Aku memilih tidak menerima cinta gadis tersebut, sebab aku khawatir urusan cinta akan mengusik niat awalku merantau. Pada tahun kedua, aku juga menampik gadis yang lain jatuh hati kepadaku. Getir hidup di rantau jadi alasan penolakanku. Aku tidak mau orang lain tercebur ke dalam penderitaanku. Begitu pendapatku. Tahun ketiga masih begitu, tahun keempat tetap begitu.
Jadilah aku tetap menjomlo hingga hari ini.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!