Hazard boleh-boleh saja mengeluhkan taktik yang dipilih pelatih Prancis. Les Bleus, julukan Prancis, seperti gadis yang tabah dan pasrah menunggu peminang datang. Prancis memilih diserang, bertahan dengan baik, menunggu kelengahan Belgia, lalu balik menyerang dengan ganas. Hasilnya justru menakjubkan. Mereka melangkah ke final. Jelaslah bahwa bertahan atau menyerang hanyalah pilihan.
Dua tahun sebelumnya, pada Piala Eropa 2016, asuhan Deschamps juga sukses ke babak final. Saat itu mereka diunggulkan. Apa daya, mereka menyerahkan piala kepada timnas Portugal. Akan tetapi, luka atas kekalahan yang terjadi di kandang sendiri akhirnya sembuh dan pulih. Mereka tidak patah arang atau patah semangat. Mereka menambal sisi yang lemah dan menambah sisi yang kurang.
Keluhan Hazard tidak bermakna apa-apa. Belgia tetap kalah dan tetap gagal ke final. Hazard dan kolega justru butuh injeksi semangat tambahan, tidak usah mengungkit kegagalan, dan menegakkan kepala demi menghadapi laga perebutan tempat ketiga. Kehidupan, kata Rendra, adalah bahagia dan sedih. Sah-sah saja Lukaku terluka, tetapi jangan lama-lama merayakan duka.
Bagaimanapun, Belgia berhasil melangkah hingga semifinal.
Tanyalah perasaan para pemain Jerman, Portugal, atau Spanyol. Mereka pasti ingin bertarung hingga babak semifinal, namun nasib menghendaki mereka pulang lebih awal. Tanyalah perasaan para pemain Uruguay, Brasil, dan Argentina. Mereka pasti ingin merasakan atmosfer babak semifinal, namun nasib menyuruh mereka segera mengepak koper. Tanyalah perasaan para pemain Jepang dan Meksiko. Mereka pasti mendambakan satu tempat di empat besar, namun garis tangan mereka hanya di perdelapan final.
Tiada waktu untuk berduka lebih lama.
Kita tidak bisa memilih di mana kita dilahirkan, tetapi bisa menentukan ke mana langkah diayun.Witsel mengadang Griezmann (Foto: Robert Cianflone, FIFA/Getty Images)~ Khrisna Pabichara, Jenderal Kambing
Kita tidak pernah mengharapkan kekalahan, tetapi kita bisa memperbaiki diri gara-gara satu kegagalan. Mau tidak mau, ada yang mesti siap dihadapi oleh Belgia. Laga melawan Inggris sudah di depan mata. Jangan sampai rasa sedih tak berkesudahan menutup datangnya rasa bahagia.
Kurang daya sengat. Inilah salah satu kekurangan Belgia ketika melawan Prancis. Menumpuk lima pemain di lapangan tengah ternyata gagal menembus barikade Kante, Matuidi, dan Pogba. Meninggalkan Lukaku sendirian di depan justru memudahkan Varane dan Umtiti menjaga pertahanan. Jika tidak ingin sakit lagi, Martinez harus mengubah strategi.
Rentan diserang. Inilah kelemahan kedua Belgia pada laga semifinal. Witsel, Dembele, dan Fellaini gagal mengucilkan Pogba. Kompany dan Vertonghen gagal membendung laju Mbappe. Sisi kiri dan kanan pertahanan juga mudah diterjang lawan. Patut dicamkan, Inggris juga punya Sterling dan Rashford. Kecepatan keduanya setara dengan kecepatan Mbappe. Jangan sampai pertahanan kalang kabut lagi.