Kita memang lebih mahir mengingat kekalahan, kesedihan, dan kepedihan dibanding kemenangan, ketenangan, dan kesenangan.
Ingar-bingar Pilkada Serentak 2018 sudah reda. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sudah menyelesaikan babak akhir Pilkada, yakni penghitungan rekapitulasi hasil suara. Gontok-gontokan dan ejek-mengejek di media sosial mulai redup, walaupun sesekali asapnya masih berpendar-pendar di dinding Facebook atau di linikala Twitter.
Jauh di akar rumput, jejak persaingan masih berasa. Seperti bayangan tubuh di siang hari bolong, antara ada dan tiada. Dikira sudah tiada, ternyata masih ada. Dianggap sudah tiada, ternyata masih berasa. Di Jeneponto, misalnya, ada oknum Lurah yang menolak melayani warganya. Gara-garanya, warga yang meminta tanda tangannya ditengarai beda pilihaan. Kendatipun belakangan Pak Lurah menyangkal video yang telanjur viral di media sosial. Kata beliau, ia cuma bercanda.
Persaingan memang berpotensi menguji ketangguhan kewarasan kita.Â
Setelah pilkada berlalu, potensi ujian bertambah. Paslon terpilih sering kali abai pada warga yang bukan pemilihnya. Paslon yang kalah memeram dendam hingga bertahun-tahun. Yang menang dan yang kalah terganggu kewarasannya. Ada yang kadarnya kecil, mungkin seupil; ada yang kadarnya besar, mungkin segunung.
Akan tetapi, tulisan sepele ini tidak akan mengulas hiruk-pikuk paslon pemenang. Tulisan sepele ini justru hendak menyingkap nasib kotak kosong alias kolom kosong yang ikut pilkada. Tiga Pilwali (Pemilihan Wali Kota/Wakil Wali Kota) dan 13 Pilbup (Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati) menjadi ajang unjuk gigi Si Kotak Kosong dalam Pilkada Serentak 2018.
***
Kehadiran Kotak Kosong dalam Pilkada SerentakÂ
Hidup, seperti pernyataan Chairil Anwar dalam sebuah puisinya, hanya menunda kekalahan. Yang sekarang menang, besok belum tentu menang lagi. Yang sekarang kalah, besok tidak pasti tetap akan kalah.Â
Mengapa kotak kosong muncul? Jawabannya sederhana, karena cuma satu calon yang maju di pilkada. Kalau saja ada dua apslon, pasti tidak akan disediakan kolom kosong bagi pemilih. Tidak mungkin juga penyelenggara pilkada hanya menaruh satu foto dalam surat suara. Itu melanggar filosofi pilih-memilih. Siswa SD saja tahu arti dan hakikat pilih memilih. Memilih berarti ada pilihan. Ada pilihan berarti ada sesuatu yang dipilih. Dan, sesuatu yang dipilih itu tidak boleh satu.Â