Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Setelah Badai Pilkada Berlalu

2 Juli 2018   19:23 Diperbarui: 2 Juli 2018   20:02 1035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada adik-kakak bermusuhan gara-gara beda pilihan dalam pilkada. Ada suami-istri pisah ranjang gara-gara beda gerbong saat pilkada. Ada tetangga tidak bertegur sapa akibat beda dukungan pada pilkada. Ini bukan pepesan kosong.

Pilkada serentak sudah hampir seminggu berlalu, tetapi keritap permusuhan masih terasa. Pendukung kandidat yang kalah sibuk mencari-cari kesalahan, pendukung kandidat yang menang sibuk mengorek-ngorek luka. Kedua pihak lupa belajar berpolitik secara dewasa.

Sejatinya, pilkada adalah pesta demokrasi. Namanya saja pesta, mestinya kita rayakan dengan riang atau penuh sukacita. Namanya juga pesta, pasti berpotensi menyuguhkan kejutan. Kandidat yang maju ke panggung pesta pasti mafhum pada kondisi akhir: terpilih atau tersisih.

Sebagai sebentuk pesta, rakyat dan kandidat harus lulus manajemen perasaan. Jika terpilih mesti bersikap seperti apa, kalau tersisih harus bertindak bagaimana. 

Jangankan pilkada, naik pesawat saja pasti ada guncangan. Penumpang, suka atau tidak, harus merasakan turbulensi. Pesta demokrasi juga begitu. Rakyat dan kandidat seyogianya sudah tamat dalam perkara turbulensi pasca-pilkada. 

Ternyata tidak, berasa gagap dan gugup.

Baik rakyat yang memilih maupun kandidat yang dipilih belum sepenuhnya siap menghadapi turbulensi pilkada. Kita gagap dan gugup seakan ini pilkada pertama yang pernah terjadi. Guncangan sebelum dan setelah pilkada belum diterima secara arif dan bijak. 

Pesta memilih pemimpin akhirnya berujung pada sengketa perasaan. 

***

Demi pilkada yang baru berlalu, demi kebersamaan yang pernah terjalin, demi masa depan yang lebih nyaman, mari kita hentikan garuk-menggaruk yang tidak perlu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun