Setelah percakapan yang menekan jantung dengan ibu dan ayahnya, Tami merasa langit-langit kamarnya berubah menjadi gasing. Terus berputar hingga kepalanya pening.
Tiada yang dapat ia lakukan selain mengelap keringat dingin di kening, membendung gelembung sedih yang hendak pecah di mata, dan melantunkan doa di dalam hati.
Tuhan, tunjuki aku jalan yang tepat.
Ketika enam kata itu selesai ia rapal, gelembung air pecah di matanya, mengalir ke pipi, dan menetes ke bantal.
•••
Ingatannya kembali memampang percakapan dengan ibunya, tadi, di meja makan.
"Remba itu pemalas," desis ibunya seraya mengelap bibir dengan tiga lembar tisu. "Apa yang kamu harapkan dari seorang penulis yang pemalas itu?"
"Cinta, Bu," sahut Tami pelan. "Remba sangat mencintaiku!"
Ibunya menggeleng-geleng. "Kamu tidak bisa menukar beras, minyak, lauk, dan seterusnya dengan cinta." Timpal ibunya dengan nada mulai tinggi. "Kamu juga tidak mungkin membayar lipstik, bedak, pensil alis, dan sebagainya dengan puisi."
Tami menunduk. Tidak menyanggah, tidak membantah. Padahal, kupingnya gatal mendengar ibunya keliru menggunakan ungkapan dan seterusnya. Juga, dan sebagainya. Ia diam dan menunggu.
"Kamu cantik," kata ibunya lagi, kali ini agak pelan sebagaimana ibu-ibu lain membujuk anak gadis mereka, "Ibu yakin banyak yang mau meminang kamu!"
Tami mendongak, menatap ayahnya yang duduk menekur di samping ibunya. Tetapi ayahnya hanya mendesah. Tak lebih, tak kurang.
Merasa di atas angin, ibunya berkicau. "Kalau kamu mau, Ibu bisa kenalin kamu dengan cowok-cowok keren dan mapan. Teman-teman Ibu punya anak-anak cowok yang ganteng. Ada arsitek, dokter, kontraktor, dan lain sebagainya. Kamu tinggal tunjuk, Ibu yang urus!"
Kuping Tami kembali berdenging. Kali ini gara-gara dan lain sebagainya yang mengalir deras dari bibir ibunya. Ia tidak sanggup lagi menahan diri.
"Tidak ada ungkapan dan lain sebagainya dalam bahasa Indonesia, Bu. Itu rancu...."
"Itu yang kamu dapat dari Remba," sela ibunya dengan mata mencorong. "Makan itu bahasa Indonesia!"
Ibunya berdiri, meninggalkan dengus yang mendengung di udara, dan kelepak sandal di lantai bagai sepasang kepalan yang menonjok-nonjok dada Tami. Ayahnya berdiri tanpa berkata apa-apa. Hanya mengedikkan bahu.
***
Pening di kepalanya berkurang. Ia tersenyum saat teringat gerutuan ibunya tentang puisi yang, kata ibunya, mustahil dipakai membeli lipstik, bedak, pensil alis, dan sebagainya.
Jemarinya menari di layar gawai. Ia ceritakan tentang kekeliruan ibunya dalam menggunakan ungkapan dan lain-lain, dan sebagainya, serta dan seterusnya. Ia ingin tahu tanggapan Remba. Segera ia kirim pesan lewat WA.
Getar gawai mengejutkan Tami. Buru-buru ia buka balasan pesan dari Remba.
“Jangan gunakan kefasihan bicaramu, dalam hal ini mendebat, di hadapan ibumu yang dahulu mengajarimu berbicara.”
~ Ali bin Abi Thalib
Tami terkesima. Ia bangkit dan duduk mencangkung di tepi ranjang.
Remba memang suka puisi, sampai-sampai pesan sederhana pun dibalas dengan jawaban bersayap. Meski sedikit kesal, Tami paham. Ia tidak boleh mendebat ibunya dengan cara yang tidak tepat.
Maka, ia berdiri dan berjalan ke meja belajar, lalu mengetik di Kompasiana. Ia menulis tentang perbedaan antara dan lain-lain, dan sebagainya, dan seterusnya, serta dan lain sebagainya.
Ia mulai menulis surat untuk ibunya.
***
Selama ini banyak orang yang senang menjodoh-jodohkan orang lain. Padahal, orang lain itu belum tentu suka dijodoh-jodohkan. Nasib kata juga begitu. Beberapa kata sering kita jodoh-jodohkan.
Kita jodoh-jodohkan dan lain-lain dengan dan sebagainya, lalu merasa puas dan bersukacita. Bahkan kita paksa kedua ungkapan itu menikah. Kemudian kita gembira menimang kelahiran anak mereka. Bayinya kita namai dan lain sebagainya.
Tidak ada di antara kita yang menanyakan apakah mereka bahagia atau tidak atas pernikahan paksa itu. Padahal, belum tentu mereka bahagia. Boleh jadi mereka hanya ingin berbakti kepada pemakai kata--sebagai orangtua mereka.
Baru saja saya bertemu dengan keduanya.
Ia juga mencontohkan penggunaan dan lain-lain dalam kalimat. Ayah menghadiahiku sepatu, tas, jam tangan, dan lain-lain, atas kelulusanku dengan nilai memuaskan. Sepatu, tas, dan jam tangan merupakan benda yang tidak sama atau berbeda. Ungkapan penghubung yang tepat adalah dan lain-lain, bukan yang lain.
Ia pun menuturkan contoh penggunaan dan sebagainya di dalam kalimat. Ayah menghadiahiku kamus, novel, kumpulan puisi, dan sebagainya, atas kelulusanku dengan nilai memuaskan. Kamus, novel, dan kumpulan puisi merupakan benda yang sejenis atau serupa. Sama-sama buku. Karena sama dan sejenis maka ungkapan penghubung yang tepat adalah dan sebagainya.
Tiba-tiba Dan Seterusnya muncul dan ikut nimbrung di teras. Ia duduk dan langsung memperkenalkan diri. Ia mengatakan bagaimana semestinya ia digunakan.
Katanya, ungkapan dan seterusnya berbeda dengan dan lain-lain atau dan sebagainya. Karena tidak sama makna dan faedah, penggunaannya pun berbeda. Jangan ditukar-tukar seenak hati. Ia pun memberikan contoh. Karena selalu berprestasi sejak TK, SD, SMP, dan seterusnya, maka Ayah selalu memberiku hadiah.
Ketiga tamu saya pada malam dingin ini sepakat atas satu hal, yakni menganjurkan agar saya tidak menggunakan dan lain sebagainya, baik dalam komunikasi resmi atau santai. Kata mereka, nanti kamu terbiasa dan akhirnya salah kaprah.
Sebelum pamit, ketiganya kembali memberikan contoh penggunaan ungkapan dst., dll., serta dsb.
1. Katahati menyelenggarakan lomba baca puisi, mengarang cerpen, debat sastra, dan lain-lain.
2. Hadiahnya gawai, komputer, televisi, dan sebagainya.
3. Pesertanya siswa TK, SD, SMP, dan seterusnya.
Saya sangat senang menerima kunjungan mereka. Saya ingin sekali mengajak mereka menemui Ibu, tetapi saya khawatir mereka sibuk. Siapa tahu mereka akan mengunjungi rumah-rumah pengguna bahasa Indonesia yang lain.
Kandangrindu, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H