“Jangan gunakan kefasihan bicaramu, dalam hal ini mendebat, di hadapan ibumu yang dahulu mengajarimu berbicara.”
~ Ali bin Abi Thalib
Tami terkesima. Ia bangkit dan duduk mencangkung di tepi ranjang.
Remba memang suka puisi, sampai-sampai pesan sederhana pun dibalas dengan jawaban bersayap. Meski sedikit kesal, Tami paham. Ia tidak boleh mendebat ibunya dengan cara yang tidak tepat.
Maka, ia berdiri dan berjalan ke meja belajar, lalu mengetik di Kompasiana. Ia menulis tentang perbedaan antara dan lain-lain, dan sebagainya, dan seterusnya, serta dan lain sebagainya.
Ia mulai menulis surat untuk ibunya.
***
Selama ini banyak orang yang senang menjodoh-jodohkan orang lain. Padahal, orang lain itu belum tentu suka dijodoh-jodohkan. Nasib kata juga begitu. Beberapa kata sering kita jodoh-jodohkan.
Kita jodoh-jodohkan dan lain-lain dengan dan sebagainya, lalu merasa puas dan bersukacita. Bahkan kita paksa kedua ungkapan itu menikah. Kemudian kita gembira menimang kelahiran anak mereka. Bayinya kita namai dan lain sebagainya.
Tidak ada di antara kita yang menanyakan apakah mereka bahagia atau tidak atas pernikahan paksa itu. Padahal, belum tentu mereka bahagia. Boleh jadi mereka hanya ingin berbakti kepada pemakai kata--sebagai orangtua mereka.
Baru saja saya bertemu dengan keduanya.