"Sebelum Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak pada 1440-an, kebanyakan informasi  disampaikan dari generasi ke generasi secara lisan. Epos, mitos, dan dongeng dalam semua kebudayaan kuno disampaikan melalui tradisi lisan."
Hernowo, Quantum ReadingÂ
Tradisi lisan dan budaya tulis juga berkembang di Nusantara. Pada tahun 1300 hingga 1500-an, sebuah karya sastra adiluhung ditulis di kawasan Bugis (sekarang Sulawesi Selatan). Pada mulanya memakai media bambu pipih dan daun lontar. Syahdan, sekitar 10.000 halaman epik berbahasa Bugis kuno dengan kira-kira 500.000 larik puisi ditulis dalam huruf lontara kuno, aksara Bugis-Makassar.
Mahakarya itu beredar secara lisan, dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. Selain ditampilkan dalam bentuk massureq, tradisi sastra lisan, pada upacara-upacara adat, mahakarya itu juga didongengkan kakek-nenek kepada cucu-cucunya di rumah-rumah. Sayang, manuskrip yang terdiri dari 10.000 itu rusak karena digerus waktu.
Memasuki tahun 1800-an, seorang pendeta sekaligus cendekiawan dari Belanda, Matthes, mengumpulkan dan menyalin ulang mahakarya tersebut. Atas kerja samanya dengan Colliq Pujie, sastrawan Bugis, sekira 6000 halaman dan 300.000 larik puisi berhasil diselamatkan.Â
Mahakarya itu sekarang kita kenal dengan nama Sureq I La Galigo. Karya sastra adiluhung itu bahkan diakui UNESCO sebagai salah satu Warisan Dunia.
Menulis dan Aroma Tinta
Sejarah mencatat, Cina-lah yang mengawali penemuan kertas dan tinta. Diperkirakan sekira tahun 170-an, ditandai dengan temuan peta yang ditulis di atas kertas berbahan serat kulit pohon, jerami, dan kain bekas. Tradisi kertas ini diserap oleh orang-orang Arab dan dibawa ke Bagdad. Dari Bagdad lantas menyebar ke Spanyol sewaktu khilafah Arab menguasai sebagian semenanjung Spanyol.
Begitulah riwayat singkat keberadaan kertas dan tinta. Bermula di negeri Cina hingga tiba sekarang ke hadapan kita. Tentu saja sudah mengalami perubahan dan perbaikan sesuai arus zaman.Â
Maka, orang yang bekerja dengan menulis disebut penulis. Tetap dinamai demikian meskipun banyak penulis sudah bekerja menggunakan mesin tik, lalu komputer personal yang tidak bisa dibawa ke mana-mana, lalu komputer bimbit alias laptop yang enteng dijinjing ke mana saja, lalu ke gawai yang mudah dibawa bahkan ke dalam jamban.