Bagi seorang pemuda menjelang 44 tahun, yang tengah segar-segarnya mencecap dan mencerup pedih-perih kehidupan, menulis adalah salah satu jalan memati-rasakan lidah agar tidak takluk pada nestapa nasib. Menulis bukan lagi kesukaan atau hobi belaka, melainkan telah menjelma kebutuhan yang setara dengan makan dan minum, juga mandi dan dandan, juga nongkrong dan ngopi, juga tidur dan bermimpi.
Maka, tiada istilah gaya-gayaan atau sekadar ingin dibaca tulisannya atau supaya semata-mata terlihat cerdas dan pintar. Pemuda Menjelang 44 Tahun itu memandang tulisan sebagai roh bagi hidupnya. Berhenti menulis sama saja membunuh diri. Padahal, bagi pemuda itu, bunuh diri itu sedungu-dungunya pilihan hidup.
Apakah tulisan bisa membiayai ongkos hidup yang kian mencekik leher?
Pertanyaan itu pernah diajukan seorang temannya pada sebuah obrolan ringan di kafe yang kopi hitam kentalnya tidak mencapai sepuluh ribu. Ketika pertanyaan ini menyerbu kupingnya, ia sempat tertegun beberapa jenak. Hampir susah bernapas. Serasa diserang sesak napas yang sangat menyiksa.
Bisa saja, waktu itu, ia berkilah bahwa tidak semua pertanyaan butuh jawaban sebagaimana tidak semua makanan butuh sendok. Hanya saja, jawaban sedemikian sungguh tidak memuaskan. Baik bagi si penanya maupun bagi si penjawab.Â
Pertanyaan itu sukar dijawab selintas pikir, apalagi sekelebat ujar.Â
Hampir sesukar lelaki menjelang asar menjawab pertanyaan mengapa ia belum juga menikah dan memilih lajang sebagai jalan hidup. Hampir sesukar politisi dari partai oposisi yang mahir menyidir dan rajin menyinyir ketika ditanya mengapa tidak ada secuil pun sisi baik dari Pemerintah di matanya.Â
Hampir sesukar narapidana korupsi yang ingin tiarap di penjara tatkala ditanya apa tanggapannya atas hasrat KPU yang berniat menghabisi hak politik mantan narapidana kosupsi. Tidak enteng, tidak ringan.
Namun, Pemuda Menjelang 44 Tahun itu tetap menjawab. Sederhana saja jawabannya. Jika takaran kita adalah memenuhi keinginan, pasti ongkos hidup jauh dari tercukupi. Itu betul. Jangankan penulis, pengacara ternama yang bergelimang uang saja akan selalu kurang apabila seluruh keinginannya harus ditebus. Jangankan penulis, artis ternama yang berenang di lautan order dan honor saja akan megap-megap apabila segala keinginannya harus dibeli. Saudagar atau pengusaha kaya raya saja, yang memiliki banyak perusahaan sebagai pohon uang, akan pailit alias bangkrut jikalau hidup di atas pemenuhan keinginan.
Biaya keinginan itu mahal. Malah sangat mahal. Yang murah ialah biaya kebutuhan. Itulah mengapa si Pemuda Menjelang 44 Tahun itu mampu bertahan hidup. Ia sudah hidup mewah di sela-sela harta berupa buku dalam jumlah ribuan. Ia sudah hidup gagah di sisi tulisan atau karyanya yang belum seberapa.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!