Bersama-sama Melihat Jam Dinding
Baru ada satu jam dinding di kampungku. Milik Om Syarif, ayah Jamil. Tetapi jam dinding itu ditaruh di masjid. Setelah salat Zuhur atau Asar, biasanya kami tidur-tiduran di masjid. Lantai tanah yang dialasi tikar daun lontar berasa adem. Silir angin dari jendela dan celah-celah dinding bambu sungguh menenangkan.
Segala-gala gaya ada di sini. Ada yang mendengkur seperti lenguh sapi, ada yang duduk bersandar ke dinding sambil sesekali mengusap sudut bibir. Ada yang tengkurap, ada yang telentang. Ada yang melatih hafalan surat-surat pendek, ada yang membaca buku.Â
Tetapi, tidur-tiduran bersama setelah Zuhur atau Asar hanyalah variasi bagi kami. Tujuan kami yang sebenarnya adalah melihat jam dinding. Kadang-kadang tanpa aba-aba kami serempak melihat jam dinding. Setelahnya, kami saling menatap sambil mengulum senyum.Â
Yang benar-benar tertidur lebih parah. Hal pertama yang mereka lakukan adalah bangun memeluk lutut lalu melirik jam dinding. Menyaksikan dua-tiga orang terbangun dan serentak melihat jam itu adalah pemandangan lucu bagi kami.Â
Lupa Akhir Surat al-Kaafiruun
Semasa SMA, saya ikut Tim Safari Ramadan Kecamatan Tamalatea. Saya bertugas berceramah di Kampung Joko. Ternyata di antara jamaah ada Pak Jusuf Ramli, pengurus PD Muhammadiyah Kab. Jeneponto. Waktu itu saya baru saja mengikuti Taruna Melati III, latihan perkaderan Ikatan Pelajar Muhammadiyah.Â
Tentu saja aku agak grogi. Untung lidahku tidak keseleo. Materi ceramah yang kusajikan bisa berterima. Bahkan beberapa tatapan mata jamaah seolah-olah memintaku agar tidak berhenti dulu. Namun, aku tidak ingin membuat jamaah bosan. Maka, aku segera menutup ceramah.
Ketika Tarawih hendak dimulai, orang-orang memintaku jadi imam. Tentu saja aku menolak dan meminta Pak Jusuf yang ke depan. Alih-alih mengiya, beliau malah mendorong pundakku dengan lembut. Terpaksa aku ke depan. Malam itu aku berasa kurang khusyuk. Namun, aku harus memimpin jamaah.
Petaka tiba pada rakaat ketiga salat Witir. Biasanya bacaan setelah al-Fatihah adalah tiga surat pendek terakhir dalam Alquran, yakni al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Naas. Malam itu tidak. Aku membaca al-Kaafiruun. Parahnya, sudah sekali diulangi tapi ayat terakhir tak teringat.Â
Jamaah mendeham. Ada yang berseru subhanallah, ada yang bertepuk tangan. Aku belum juga ingat, malah mengulang lagi bagian walaa an 'abidu. Serentak jamaah membacakan lakum diynikum waliyadin. Saat itulah baru aku tersadar.