Sewaktu kecil, tak ada istilah puasa setengah hari di kampungku. Kedengarannya kejam, tetapi begitulah adanya. Namanya puasa, kata Ayah, dari imsak sampai magrib. Tidak anak-anak tidak orang dewasa, waktu puasanya sama.Â
O ya, buka puasa di kampungku memang selalu dilakukan di masjid. Penyedia makanannya digilir. Hari ini Ibu Anu, besok Ibu Itu. Kadang dalam satu hari ada dua atau tiga keluarga yang bekerja sama menyediakan makanan buka puasa.Â
Kalau ada anak kecil di kampungku yang puasanya cuma setengah hari, tentu ia kehilangan peristiwa istimewa: buka puasa bersama di masjid. Dan, anak kecil yang tidak hadir buka puasa bersama berarti dianggap tidak berpuasa. Itu memalukan. Selalu menjadi bahan ledekan.Â
Akan tetapi, berhasil berpuasa sehari penuh itu tidak mudah. Begini ceritanya.
Menahan Emosi Melawan LaparÂ
Main-main bersama teman-teman. Itulah menu berpuasa yang paling mengasyikkan. Selemas atau seloyo apa pun apabila dua sepupuku, Suhardi dan Jamil, sudah berteriak di depan rumah maka aku pasti bersemangat.Â
Kira-kira sejam sebelum zuhur kami tiba di kebun Om Mado, sekitar seratus meter di belakang rumahku. Ada saja yang kami lakukan. Capai petak umpet, main santo--melempari batu target dengan batu di tangan. Yang terdekat pada batu sasaran menjadi pemenang.Â
Pakki, teman sepermainan kami, paling jago massanto. Tetapi ia paling tidak tahan diledek. Mudah marah, cepat meledek. Kami menyebutnya koro-koroang. Padahal tidak boleh sewot, semarah apa pun. Bahkan ada istilah Inai larro inai ata. Artinya, yang marah jadi hamba. Masak puasa marah-marah?
Hari itu aku setim dengan Pakki dan Saparuddin, sedangkan Jamil dan Suhardi setim dengan Nurjihadi. Putaran pertama timku menang, tim lawan masih terima. Putaran kedua menang lagi, lawan mulai menggerutu. Putaran ketiga menang lagi, lawan mulai kalut.Â
Perang urat syaraf terjadi. Suhardi yang jago debat menuduh kaki Pakki melewati garis lempar. Pakki yang lekas naik pitam langsung ngotot. Nurjihadi mendorong Pakki, Saparuddin kontan membela teman setimnya. Debat makin sengit. Dorong-mendorong makin gencar.
"Kalian lagi puasa," kataku melerai, "jangan berkelahi."