Ramadan identik dengan ceramah. Tiap ceramah niscaya menghadirkan dua pihak, yakni penceramah selaku yang menceramahi dan pendengar ceramah selaku yang diceramahi.
Belum tentu yang menceramahi lebih mumpuni ilmunya atau lebih dalam pengetahuannya dibanding yang diceramahi. Di pesantren, misalnya, santri sering ceramah di depan para kiai. Walaupun konteksnya berbeda, esensinya tetap berceramah. Ini ilustrasi sederhana saja.Â
Manakala umat di satu daerah mengundang penceramah dari luar, belum tentu kompetensi keilmuan pemuka agama di daerah itu tidak atau belum semumpuni mubalig yang diundang. Belum tentu juga reputasi dai yang diundang sedikit lebih baik apalagi jauh lebih baik ketimbang tokoh agama di daerah yang mengundang. Pengundang lazimnya punya alasan tertentu.Â
Akan tetapi, saya tidak sedang ingin mengulik-ulik alasan pengundangan. Ada perkara lain yang mencemaskan dan membingungkan saya. Rasa cemas dan bingung itu dipantik oleh rekomendasi Kementerian Agama.
Perkara Fondasi Rekomendasi
Mengapa rekomendasi ini dikeluarkan? Jika alasannya demi keselamatan bangsa, saya jelas-jelas cemas dan bingung. Apakah ustaz yang tidak direkomendasi berpotensi mengancam keselamatan bangsa? Apa titik tumpu penentuan ancaman itu? Bagaimana sesuatu dianggap mengancam?
Saya tiba pada kebingungan berikutnya. Bagaimana rekomendasi itu disusun? Siapa yang mengajukan nama, siapa yang memilah nama, dan siapa yang memilih nama akan menghasilkan keputusan "abu-abu". Boleh jadi objektif, boleh jadi subjektif. Yang sepaham dicontreng, yang berbeda paham dicoret. Maka kemungkinan merekatkan jadi setara dengan meretakkan.Â
Khalayak yang menyukai atau mengagumi mubalig tertentu, yang tidak direkomendasi, mungkin saja terusik. Bahkan yang tidak menyukai dan tidak mengagumi juga terusik. Perang opini dan debat kusir pun tersulut. Usik-mengusik, ledek-meledek, sampai sindir-menyindir. Malam tidak usai, siang lanjut lagi.Â
Kita sedang berada di zaman yang lidah mau dipuasakan, tetapi jemari kadang tidak mau berpuasa. Tilik saja media sosial. Sengkarut menjadi-jadi.
Perkara Proses Kelahiran Rekomendasi
Di sini saya makin bingung. Ada tiga kriteria penentu.Â
Pertama, mempunyai kompetensi keilmuan agama yang mumpuni. Apakah yang tidak direkomendasi berarti tidak mumpuni ilmu agamanya? Baik jawabannya ya maupun tidak, negara--lewat Kementerian Agama--tanpa sadar mencurigai, menengarai, malahan mencederai warganya. Betapa tidak, hanya 200 mubalig yang diakui negara berkompeten. Sesedikit itu?
Kedua, memiliki reputasi yang baik. Di sini saya berasa bingung yang mendekati limbung. Setelah hanya mengakui 200 ustaz yang berilmu, selanjutnya negara cuma mengakui 200 dai yang reputasinya baik. Bagaimana dengan yang di luar 200 itu? Apakah level mereka agak baik, sedikit baik, atau agak sedikit baik?
Kalau mau sedikit melipir, kita bisa melihat rekomendasi Ini seperti bola yang ditetapkan FIFA untuk digunakan dalam Piala Dunia 2018. Bahannya diuji, beratnya ditakar, daya lentingnya dicoba, kemudian pengujian, penakaran, dan pencobaan itu ditilik-timbang lagi. Jadi tidak asal-asalan. Kiper mengeluhkan daya tahan bola pada ancaman angin, bola kembali diuji.Â
Itu ilustrasi saja, bukan pembandingan.Â
Maksud saya begini. Harus jelas mengapa dai yang terpilih dianggap bereputasi baik, berapa lama rentang waktu penilikan, dan (yang tidak kalah krusial) reputasi seperti apa yang dianggap atau diyakini baik. Apakah yang tidak diikutkan dalam Kelompok 200 itu sudah dipastikan reputasinya buruk? Baik jawabannya ya maupun tidak, negara telah menabuh prasangka buruk.
Ketiga, memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi. Hatta saya makin bingung. Semacam memikirkan teka-teki yang punya seribu kemungkinan jawaban. Dijawab "a", pelontar teka-teki berkilah. Dijawab "b" juga percuma.Â
Dari kriteria ini muncul klasifikasi komitmen kebangsaan yang rendah, komitmen kebangsaan yang sedang, serta komitmen kebangsaan yang tinggi. Lalu hadirlah rupa-rupa curiga. Ustaz itu tidak direkomendasi karena komitmen kebangsaannya rendah. Dai ini tidak direkomendasi karena komitmen kebangsaannya sedang.Â
Sungguh teror pikiran yang mencemaskan. Dai yang tidak masuk Kelompok 200 saya pikir tidak akan berpikir aneh-aneh. Mereka pasti woles-woles saja. Bagaimana dengan umat? Bayangkan di kedai kopi kalangan bawah yang kasak-kusuk, komat-kamit, hingga gasak-gesek.Â
Sungguh membingungkan. Sungguh mencemaskan.
Perkara Selain Rekomendasi
Apakah Kementerian Agama kurang kerjaan sampai-sampai mengurusi rekomendasi mubalig?Â
Saya pikir tidak begitu. Kemenag punya banyak urusan. Biro perjalanan ibadah, urusan haji, pendidikan cinta kasih agar warga menjauhi radikalisne, dan lain-lain. Itu baru yang bersentuhan dengan urusan agama Islam. Belum lagi urusan agama Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu.Â
Jika satu agama diurusi sampai pada hal sedemikian, nanti juga mesti ada rekomendasi penceramah selain agama Islam. Kalau tidak, negara tengah pilih kasih. Yang terkena tindak pilih kasih itu kadang-kadang sulit pulih cinta. Bingung, kan?Â
Urusan rekomendasi ini mestinya diserahkan pada MUI saja. Tiap daerah bisa memilah dan memilih sendiri. Tiap daerah hafal reputasi penceramahnya, tahu kompetensi keilmuannya, dan paham akan ketinggian komitmen kebangsaannya. Kalau terjadi riak, biar mereka selesaikan sendiri.Â
Perkara Pemutakhiran Rekomendasi
Inilah bagian akhir kecemasan dan kebingungan saya. Pada pernyataan sewaktu rekomendasi disampaikan kepada khalayak, Menteri Agama menandaskan celah perbaikan. Bahasa lembutnya dapat dimutakhirkan. Bahkan banyak portal berita daring mencantumkan nomor kontak terkait niatan pemutakhiran tersebut.Â
Sebagai rakyat awam yang tidak kenal ceruk-meruk birokrasi, saya menganggap rekomendasi tersebut lahir dari tindakan tergesa-gesa. Gol dalam sepak bola saja sukar disahkan apabila wasit sudah menganulirnya. Bukan perkara lentur dan alot, melainkan efektivitas pekerjaan.Â
Saya bayangkan kiper yang menjaga nomor kontak pemutakhiran itu akan amat sangat repot. Untung kalau ia cuma memegang satu nomor. Kalau banyak bakal makin repot. Bisa-bisa salah nomor. Persis seperti penjaga gawang akun twitter kepresidenan yang lupa pindah akun.
Saya juga membayangkan nomor kontak pemutakhiran itu diserbu umat. Kemudian bertambahlah jumlahnya menjadi 212. Bertambah lagi menjadi 411, lalu 505.Â
Aduh, saya makin bingung. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H