Mungkin Panitia mengira serbet layak dijadikan hadiah. Mengingat yang ikut lomba pasti berkeringat, mengingat lomba digelar buat main-main belaka. Masuk akal, puisi dan sastra, bagi mereka, mungkin permainan remeh belaka. Semacam mempermainkan kebudayaan dan membudayakan main-main. Ini boleh jadi erat kaitannya dengan masa kecil yang tidak bahagia.
Tetapi, serbet hadiah itu punya takdir sendiri. Gara-gara serbet, Panitia disindir agar lebih elegan memainkan puisi. Bukan mempermainkan puisi. Dan, serbet itu pula jadi alat bersih-bersih otak Panitia: yang selama ini melihat sebelah mata segala-gala yang terkait dengan seni dan kesenian, sastra dan kesastraan, serta budaya dan kebudayaan.Â
Maklum, Pemerintah juga kurang lebih sama perlakuannya pada seni, sastra, dan budaya.
***
Pada akhirnya serbet mengukir sejarahnya sendiri. Ia menegaskan perihal bagaimana semestinya memanfaatkan peluang, seperti cara Rexach melihat serbet. Ia juga mengeraskan hakikat perayaan Hari Pendidikan Nasional dan puisi bukan sekadar hura-hura alias senang-senang saja.
Sungguh berbeda. Rexach melihat serbet seperti penyelamat, Panitia Lomba Baca Puisi melihatnya sebagai main-main semata.
Tunggu sebentar. Saya berkeringat. Apakah kamu punya serbet?
2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H