Ketika mengisi Kelas Menulis Fiksi (KMF) yang digelar oleh Katahati Production pada Sabtu, 17 Maret 2018 di AH Restocafe Fakultas Ekonomi UI, seorang peserta bertanya kepada saya, "Apakah Daeng sudah merancang keseluruhan cerita sebelum menulis atau langsung menulis begitu ide melintas?"
Saat itu, saya merasa ditodong sedemikian rupa dan tidak bisa mengelak. Saya tidak tahu persis jawaban apa yang pas dan tepat untuk saat itu. Saya mendadak merasa seperti pisang yang tak berdaya dikuliti sebelum akhirnya dikunyah habis. Akhirnya, saya menjawab sekenanya. "Saya menggunakan kedua cara itu, tetapi cara yang pertama sering kali lebih berhasil dibanding cara kedua."
Apabila cerita sudah kelar di benak sebelum saya tulis, kemungkinan buntu di tengah jalan sangatlah kecil. Beda halnya jika rancangan cerita belum utuh atau sempurna, kadang ada saja kendala yang muncul saat menulis sehingga, dengan berat hati, saya pilih menunda perampungan cerita itu. Jangankan mengarang novel, sebelum menganggit cerpen saja saya terlebih dahulu menyusun peta naskah--orang lain mungkin menyebutnya kerangka atau plot--dan grafik emosi.
Saya mesti seteliti mungkin meletakkan kata-kata bermuatan ekspresi tertentu, tekanan emosi, atau isyarat-isyarat lain yang menjadikan cerita saya lebih mudah dicerna, dapat dipercaya, dan syukur-syukur meninggalkan kesan mendalam di hati pembaca. Namun saya menyadari bahwa tidak semua usaha berhasil sesuai harapan. Namanya juga usaha, ada yang berhasil dan ada yang gagal. Simpulannya, saya menulis dengan cara merampungkan cerita itu di benak saya dan saya gambarkan secara terperinci lewat rancangan yang saya namai peta naskah dan grafik emosi.
Pada kesempatan yang sama, peserta Kelas Menulis Fiksi lain bertanya, "Mengapa Daeng menulis?" Pertanyaan ini semenohok pertanyaan pertama, meskipun jawabannya lebih enteng. Motivasi saya menulis sangat bersahaja. Saya tidak bermimpi jadi orang tenar karena menulis. Andaipun ada satu-dua pembaca mengenal saya, itu bonus belaka.
Saya menulis sebagai usaha melawan sepi. Saya penyendiri dan hati saya mudah sekali diremukkan sepi. Pernyataan Colette Dowling sangat jitu menggambarkan alasan mengapa saya menulis. Penulis sekaligus terapis dari Amerika Serikat itu menyatakan dalam buku larisnya, The Cinderella Complex, "Yang memaksa saya menulis adalah saya tidak ingin lagi sendirian." Jika selama ini beberapa orang melihat saya sebagai pribadi yang mudah lebur dalam obrolan, gampang tertawa saat berbincang-bincang, atau hangat dalam bercakap-cakap, itu hanyalah lapisan kulit bawang pertama kepribadian saya. Pada lapisan berikutnya, saya tetaplah penyendiri yang kerap kelimpungan karena kesepian.
Sebut saja, saya lebih sering makan di dalam daripada makan di luar.
Saya berharap, ketika saya tengah sendirian maka tulisan saya akan menemukan kamu dan mengajakmu mengobrol dari hati ke hati. Atau menemukan pembaca yang lain dan mengajaknya berbincang-bincang dengan hangat. Manakala itu terjadi, saya tidak merasa kesepian lagi--semenyendiri apa pun. Itu sebabnya saya berusaha segigih mungkin supaya tulisan saya sedapat-dapatnya serupa teman yang bisa diajak berbincang-bincang ke sana kemari oleh pikiran atau imajinasi pembaca.
Karena tulisan saya dihajatkan menjelma sebagai teman bagi pembaca, saya mesti cermat dan telaten memindahkan diri--pikiran, gagasan, pendapat, kenangan, dan perasaan--saya ke dalam cerita. Dengan kata lain, cerita anggitan saya adalah saya sendiri, karena pada tiap-tiap cerita itu ada ruh yang saya tiupkan ke tiap demi tiap huruf. Maka, menulis bagi saya semacam meniru kreativitas Tuhan. Saya percaya bahwa pengarang adalah tuhan bagi cerita-cerita yang dikarangnya.
Dalam satu cerita, saya pasti menciptakan tokoh, menarik garis takdir bagi tokoh itu, menentukan di mana tokoh itu dilahirkan dan kapan tokoh itu dimatikan, memastikan masalah apa yang mesti saya lilitkan ke pundak si tokoh dan membiarkannya menemukan cara untuk keluar dari lilitan masalah itu, serta memastikan tokoh itu punya pikiran, pendapat, sikap, dan perasaan sendiri. Barangkali ada tokoh yang menentang dan melawan saya, tidak apa-apa. Tuhan saja ditentang dan dilawan oleh Iblis karena kebijakan-Nya menciptakan tokoh utama di muka bumi: bernama Manusia.
Barangkali kamu bertanya-tanya mengapa pembuka tulisan ini sedemikian personal. Ya, menulis adalah kegiatan yang sangat personal. Motivasi yang melatarinya pun sangat pribadi. Ada yang ingin tenar, walaupun menjadi penyanyi jauh lebih mudah terkenal dibanding jadi penulis. Ada yang ingin kaya, meskipun sadar bahwa penulis di Indonesia bukan profesi yang tepat untuk menumpuk duit sebanyak-banyaknya. Ada pula yang ingin berbagi kepada khalayak pembaca, baik berbagi secuil gagasan maupun sejumput kenangan.
Motivasi terakhir itulah yang mendasari pilihan saya menulis.
Tiap-tiap pencerita penting mencamkan petuah Umberto Eco, novelis berkebangsaan Italia, "Kalau saya bercerita, saya akan menempatkan adegan yang saya tulis di depan saya. Hal itu membuat saya lebih akrab dengan apa yang terjadi dan membantu saya masuk ke dalam tokoh-tokohnya." Perhatikan bagian yang saya cetak miring. Pengaranglah yang masuk ke dalam tokoh-tokoh ciptaannya. Bukan sebaliknya: tokoh-tokoh dalam cerita sebenarnya adalah pengarang dalam karakter yang berbeda.
Tirulah kreativitas Tuhan. Dia suguhkan dua jalan bagi manusia: kebaikan dan kejahatan, terang benderang atau gelap gulita, lurus atau bengkok. Tokoh-tokoh dalam cerita kita bebaskan menentukan alur hidup dan plot nasibnya masing-masing. Apakah tokoh saya menyukai akhir yang menyakitkan dan penuh air mata? Keluarkan tokoh dari ceritamu, minta ia duduk di hadapanmu, lalu tanyakanlah kepadanya akhir cerita seperti apa yang dia inginkan. Ini gila! Ah, pengarang memang gila, bukan? Singkatnya: tirulah kreativitas Tuhan: membentangkan jalan dan merentangkan pilihan. Perkara mau ke kiri atau ke kanan, mau selamat atau menderita, manusialah yang menentukan jalan dan pilihannya sendiri. Begitu pula para tokoh dalam cerita kita.
Dengan penuh kerendahan hati, izinkan saya babar langkah-langkah yang saya lakukan sebelum, sewaktu, dan setelah menutup cerita--baik cerpen maupun novel. Tentu saja, ini endapan pengalaman saya belaka dan belum tentu cocok kamu terapkan dalam laku kepengaranganmu. Namun, setidaknya kamu dapat becermin dari pengalaman bersahaja saya.
Pertama, membebaskan diri. Bahwa saya sudah menyusun peta naskah dengan amat terperinci sebelum menulis cerita, itu benar. Bahwa saya telah menggambar grafik emosi secara amat cermat, itu betul. Tetapi peta naskah dan grafik emosi itu lentur, bukan batu mati yang kaku dan tak bisa dipahat. Sewaktu menulis, peta naskah dan grafik emosi itu laksana gelang karet yang bisa saya tarik-ulur sesuai kebutuhan, namun tetap saya jaga agar gelang karet itu tidak putus lantaran terlalu regang.
Begitu menulis, saya memasuki gerbang kemerdekaan. Menulis adalah ruang lapang bagi saya untuk bereksperimen sesuai karakter dan kehendak para tokoh dalam cerita. Meski begitu, saya tetap menyadari bahwa pengendara sepeda motor saja mesti patuh pada rambu-rambu. Tidak boleh sekehendak hati melajukan sepeda motor di jalan raya. Kalau tidak, ia akan membahayakan nyawanya sendiri. Bahkan, nyawa pengguna jalan yang lain. Salah menempatkan tanda baca, misalnya, akan merepotkan penyelaras aksara. Salah penempatan alinea, misalnya lagi, akan membingungkan penyunting. Salah menerakan data dan penanda makna, misal yang lain, berpeluang menyesatkan pembaca atau membuat pembaca kehilangan kepercayaan pada runtunan cerita.
Kedua, biarkan kata-kata mengalir deras. Setelah semua kelar di kepala--tokoh, plot, dan latar--saya segera menulis. Penulis seperti saya jarang bisa tidur nyenyak atau makan lahap ketika satu cerita sudah menggedor-gedor dada. Saat menulis, saya jauhkan dulu "beban gramatika" seperti tanda baca, diksi, atau apa saja yang dapat membuat pikiran saya menjadi seperti supir bertemu polisi tidur di jalan sepi di tengah malam buta. Sunting-menyunting selalu saya jadikan urusan dan urutan terakhir dalam proses menulis.
Meski begitu, kata-kata yang saya biarkan mengalir deras itu bukanlah mobil dengan rem yang blong. Tidak. Ada rambu-rambu di tiap tikungan atau area tertentu: melenceng jauh akan membuat saya kehilangan arah. Saya tidak mau terjun bebas ke curam dalam, enggan pula tersesat dan tak menemukan terminal akhir--sebab saya sadar bahwa lepas kendali akan membuat cerita yang saya tulis melebar ke mana-mana dan kehilangan arah. Itulah gunanya cerita selesai di kepala sebelum ditulis.
Ketiga, tuangkan emosi dengan cermat. Tidak bisa tidak, menulis adalah aktivitas hati. Memang porsi curah pikiran saat menulis itu sangat dominan, tetapi tuang perasaan juga punya peran yang tak boleh dipandang remeh. Tanpa perasan, tulisan adalah kebun kosong dengan tanah berbatu yang enggan ditumbuhi tanaman apa saja. Dengan demikian, saya wajib menuangkan perasaan dalam takaran yang pas dan dalam tempo yang tepat. Tidak boleh sembrono, tidak boleh gegabah.
Emosi yang saya tuangkan itu mesti laksana emosi yang menggeletar di tangan pelukis ketika menarik garis di atas kanvas: tekanan kuas dirasa-rasa dengan cermat, pulasan cat dikira-kira dengan tepat, dan--ini yang paling utama--harus mampu mengendalikan diri. Sekali saja pelukis kehilangan kendali emosi, cat akan berbeda warna, garis akan berbeda tekanan, dan lukisan akan berbeda keindahannya.
Keempat, perkaya diri dengan membaca. Tidak, saya tidak sedang ingin menjadi pengkhotbah yang menjejali telingamu dengan dogma-dogma yang, sebenarnya, sudah kerap kamu dengar sedari kecil--tetapi sering kamu abaikan hingga sekarang--apalagi menjadi Manusia Serbatahu yang sedang menasihatimu atas perkara yang sejatinya sudah kamu tahu. Kamu tahu, mustahil kamu mahir menulis cerita tanpa lebih dahulu melahap cerita-cerita penulis lain. Hanya saja, kamu dan sebagian orang yang lalai, merasa sok tahu sehingga jarang meluangkan waktu untuk membaca. Kalaupun membaca, kadang cerita yang kamu kamu baca tidak sampai pada halaman terkahir. Kalaupun kamu baca hingga halaman terakhir, pintu bilik ingatanmu tertutup sehingga yang baru saja kamu baca langsung menguap dari kepalamu.
Membaca cerpen atau novel, terutama pengarang favorit, sepenting kebutuhan kita pada makan dan minum. Begitu satu buku rampung kita baca, segera ambil buku kedua. Dan seterusnya, dan seterusnya. Semuanya kita baca dengan teliti. Selagi asyik-masyuk membaca, ada kalanya pikiran kita bergerak sendiri, melayang ke mana-mana, merambah segala arah. Pada saat itu, keinginan kita menulis mendadak terangsang hebat. Itulah alasan lain mengapa kita, jika masih berhasrat menulis dengan baik, harus rakus membaca. Selain menemukan pola membuka, mengisi, dan menutup cerita, kita juga biasanya menemukan lintasan gagasan yang seakan-akan saat itu membuat kepala kita penuh.
Keenam, kutulis sekali lagi. Arajang, dalam kumpulan cerpen Mengawini Ibu, adalah cerpen yang kutulis dengan tiga gaya berbeda dalam tiga kesempatan berbeda. Meski pada akhirnya saya memilih tulisan ketiga untuk saya kirim ke redaktur sastra sebuah koran. Mengapa saya mesti melakukan tiga percobaan? Keberanian bereksperimen jawabannya. Saya butuh melihat satu materi cerita dengan tiga pengisahan yang berbeda. Ibarat seorang koki mengolah bahan makanan yang sama dengan tiga penyajian berbeda. Dalam hal ini, saya dipukau oleh petuah Aristoteles. Kata filsuf ini, "Keunggulan itu bukan kegiatan sekali jadi; keunggalan adalah perbuatan yang berulang-ulang."
Cobalah temui pengarang idolamu atau pengarang yang kamu kenal. Tanyakan kepadanya riwayat kepengarangannya. Jangan terperangah apabila kemu mendengar jawaban bahwa di antara cerita mereka ada cerita yang berkali-kali dirombak, bahkan ada cerita yang dikirim ke surat kabar atau penerbit situ baru dimuat, setelah sebelumnya ditolak oleh surat kabar atau penerbit sana.Â
Ketujuh, berani merombak awal dan akhir cerita. Jika saya merasa bagian awal cerita kurang gereget atau bagian akhirnya kurang menggigit, saya tidak akan ragu-ragu memangkas atau membuang atau menggantinya. Pengarang adalah pembaca pertama terbaik bagi cerita yang dikarangnya. Kalau saya saja kurang menyukai pembuka dan penutup cerita saya, bagaimana bisa saya berharap khalayak pembaca akan menyukainya? Keberanian memangkas dan membuang dan mengganti bagian yang masih berasa kurang adalah hal mutlak, persis saran Rumer Godden, "Menjadi penulis itu butuh keberanian besar."
Jangan salah, ada saja penulis yang merasa sangat sayang jikalau tulisannya dipangkas. Dan, kadang perlakuan pemangkasan itu pula yang bisa mengawali percekcokan antara si penulis dan si penyunting. Yang satu bersikukuh karena merasa tiap bagian tulisannya adalah bagian dari nyawanya, yang satu lagi bersikeras karena menganggap cerita akan lebih bernyawa jika bagian yang dipangkas itu tidak ada.
Begitulah, Kawan. Sudah saya bocorkan tujuh langkah yang saya lakukan sebelum, sewaktu, dan setelah merampungkan satu cerita. Sekarang busur dan anak panah berada dalam genggamanmu. Apakah kamu akan merentangkan busur dan melontarkan anak panah imajinasimu? Kamulah penentunya. Pekerjaan penulis adalah menulis. Kamu tidak akan disebut penulis selama kamu tidak menulis!
Jadi, selesaikan tulisanmu. Selesaikan apa yang sudah kamu mulai!
Kandangrindu, April 2018
 Â
*) Catatan: Disampaikan sebagai materi pengaya dalam Kelas Menulis Fiksi (KMF) dengan tema Seni Merangkai Kata yang dilaksanakan oleh Katahati Production pada Sabtu, 7 April 2018, di AH Restcafe Cikini, Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H