Motivasi terakhir itulah yang mendasari pilihan saya menulis.
Tiap-tiap pencerita penting mencamkan petuah Umberto Eco, novelis berkebangsaan Italia, "Kalau saya bercerita, saya akan menempatkan adegan yang saya tulis di depan saya. Hal itu membuat saya lebih akrab dengan apa yang terjadi dan membantu saya masuk ke dalam tokoh-tokohnya." Perhatikan bagian yang saya cetak miring. Pengaranglah yang masuk ke dalam tokoh-tokoh ciptaannya. Bukan sebaliknya: tokoh-tokoh dalam cerita sebenarnya adalah pengarang dalam karakter yang berbeda.
Tirulah kreativitas Tuhan. Dia suguhkan dua jalan bagi manusia: kebaikan dan kejahatan, terang benderang atau gelap gulita, lurus atau bengkok. Tokoh-tokoh dalam cerita kita bebaskan menentukan alur hidup dan plot nasibnya masing-masing. Apakah tokoh saya menyukai akhir yang menyakitkan dan penuh air mata? Keluarkan tokoh dari ceritamu, minta ia duduk di hadapanmu, lalu tanyakanlah kepadanya akhir cerita seperti apa yang dia inginkan. Ini gila! Ah, pengarang memang gila, bukan? Singkatnya: tirulah kreativitas Tuhan: membentangkan jalan dan merentangkan pilihan. Perkara mau ke kiri atau ke kanan, mau selamat atau menderita, manusialah yang menentukan jalan dan pilihannya sendiri. Begitu pula para tokoh dalam cerita kita.
Dengan penuh kerendahan hati, izinkan saya babar langkah-langkah yang saya lakukan sebelum, sewaktu, dan setelah menutup cerita--baik cerpen maupun novel. Tentu saja, ini endapan pengalaman saya belaka dan belum tentu cocok kamu terapkan dalam laku kepengaranganmu. Namun, setidaknya kamu dapat becermin dari pengalaman bersahaja saya.
Pertama, membebaskan diri. Bahwa saya sudah menyusun peta naskah dengan amat terperinci sebelum menulis cerita, itu benar. Bahwa saya telah menggambar grafik emosi secara amat cermat, itu betul. Tetapi peta naskah dan grafik emosi itu lentur, bukan batu mati yang kaku dan tak bisa dipahat. Sewaktu menulis, peta naskah dan grafik emosi itu laksana gelang karet yang bisa saya tarik-ulur sesuai kebutuhan, namun tetap saya jaga agar gelang karet itu tidak putus lantaran terlalu regang.
Begitu menulis, saya memasuki gerbang kemerdekaan. Menulis adalah ruang lapang bagi saya untuk bereksperimen sesuai karakter dan kehendak para tokoh dalam cerita. Meski begitu, saya tetap menyadari bahwa pengendara sepeda motor saja mesti patuh pada rambu-rambu. Tidak boleh sekehendak hati melajukan sepeda motor di jalan raya. Kalau tidak, ia akan membahayakan nyawanya sendiri. Bahkan, nyawa pengguna jalan yang lain. Salah menempatkan tanda baca, misalnya, akan merepotkan penyelaras aksara. Salah penempatan alinea, misalnya lagi, akan membingungkan penyunting. Salah menerakan data dan penanda makna, misal yang lain, berpeluang menyesatkan pembaca atau membuat pembaca kehilangan kepercayaan pada runtunan cerita.
Kedua, biarkan kata-kata mengalir deras. Setelah semua kelar di kepala--tokoh, plot, dan latar--saya segera menulis. Penulis seperti saya jarang bisa tidur nyenyak atau makan lahap ketika satu cerita sudah menggedor-gedor dada. Saat menulis, saya jauhkan dulu "beban gramatika" seperti tanda baca, diksi, atau apa saja yang dapat membuat pikiran saya menjadi seperti supir bertemu polisi tidur di jalan sepi di tengah malam buta. Sunting-menyunting selalu saya jadikan urusan dan urutan terakhir dalam proses menulis.
Meski begitu, kata-kata yang saya biarkan mengalir deras itu bukanlah mobil dengan rem yang blong. Tidak. Ada rambu-rambu di tiap tikungan atau area tertentu: melenceng jauh akan membuat saya kehilangan arah. Saya tidak mau terjun bebas ke curam dalam, enggan pula tersesat dan tak menemukan terminal akhir--sebab saya sadar bahwa lepas kendali akan membuat cerita yang saya tulis melebar ke mana-mana dan kehilangan arah. Itulah gunanya cerita selesai di kepala sebelum ditulis.
Ketiga, tuangkan emosi dengan cermat. Tidak bisa tidak, menulis adalah aktivitas hati. Memang porsi curah pikiran saat menulis itu sangat dominan, tetapi tuang perasaan juga punya peran yang tak boleh dipandang remeh. Tanpa perasan, tulisan adalah kebun kosong dengan tanah berbatu yang enggan ditumbuhi tanaman apa saja. Dengan demikian, saya wajib menuangkan perasaan dalam takaran yang pas dan dalam tempo yang tepat. Tidak boleh sembrono, tidak boleh gegabah.
Emosi yang saya tuangkan itu mesti laksana emosi yang menggeletar di tangan pelukis ketika menarik garis di atas kanvas: tekanan kuas dirasa-rasa dengan cermat, pulasan cat dikira-kira dengan tepat, dan--ini yang paling utama--harus mampu mengendalikan diri. Sekali saja pelukis kehilangan kendali emosi, cat akan berbeda warna, garis akan berbeda tekanan, dan lukisan akan berbeda keindahannya.