Lewat akun fesbuknya, Ade Armando melansir sebuah pertanyaan. Apakah Allah itu orang Arab? Begitu bunyi pertanyaannya. Dosen berkacamata ini sudah menyediakan dua jawaban: pilihan a jika ya dan b kalau bukan. Artinya, pilihan a disediakan bagi yang mengira Allah memang orang Arab dan pilihan b bagi yang yakin bahwa Allah bukan orang Arab.
Semula saya ingin menjawab dengan jawaban yang mengabaikan sodoran dua pilihan itu, tetapi hasrat menjawab surut dan luruh sendiri. Alasan saya sederhana. Sejak kecil saya tidak suka pilihan ganda, meskipun levelnya masih setingkat di bawah ketidaksukaan saya pada pilihan benar-salah. Pilihan ganda membuat pikiran saya serasa dikerangkeng atau dipenjara atau dikekang, sementara pilihan benar-salah membuat saya tidak nyaman karena merasa pikiran saya diatur-atur atau didikte atau dibatasi.
Andaikan ada pilihan c (jawaban a dan b salah) atau d (Allah bukan orang), saya akan memilih salah satu di antara keduanya. Ini tidak. Pak Dosen pelit, cuma menawarkan dua pilihan. Sedangkan saya bukan penawar yang baik. Alhasil, saya kebiri niat berkomentar pada unggahan Pak Dosen. Saya tidak marah atau tersinggung atau tersulut gara-gara pertanyaan tersebut. Tidak. Alih-alih marah, saya tertawa. Alih-alih tersinggung, saya ngakak. Alih-alih emosi tersulut, saya tafakur.
Terbetik di benak saya, doi sedang ingin bercanda dengan materi yang sedikit berat: Allah dan orang Arab. Tak ayal, lahirlah pertanyaan menggelikan sekaligus menggelisahkan. Pertama, mengapa harus Allah? Bisa saja dosen berkacamata (maaf saya ulang lagi deskripsi ini) menggunakan kata Tuhan supaya lebih netral. Tetapi, doi memilih Allah. Pasti ada alasan, pasti ada pijakan. Tidak mungkin doi ujuk-ujuk memilih Allah. Kedua, mengapa harus orang Arab? Sebagaimana pertanyaan sebelumnya, saya gagal menduga-duga titik tumpu pikiran doi. Ketiga, mengapa harus orang? Inilah yang paling menggelitik pikiran saya. Allah kok disederajatkan dengan orang. Huh! Â
Setelah ketiga pertanyaan tersebut menggedor-gedor otak cungkring saya, mendadak muncul pertanyaan keempat. Mengapa saya tidak menganggap pertanyaan dosen berkacamata (aduh, saya ulang lagi) ini sebagai bentuk penghinaan kepada Allah? Kali ini saya tidak merasa geli, tetapi gelisah. Jangan-jangan ini jangan-jangan itu. Untung saja iman saya (yang tidak seberapa tebal) tidak secungkring otak saya (yang sering mendadak bebal).
Itu senda gurau belaka, bisik iman saya (yang tidak seberapa tebal). Kemahaagungan atau kemahabesaran Allah tidak akan berkurang lantaran pertanyaan tersebut. Allah Mahabesar. Dan akan tetap Mahabesar meski dosen berambut pendek (kacamata sudah saya ganti, dosen masih saya pakai) seribu kali melansir pertanyaan semacam itu. Walaupun disamakan dengan orang (dalam hal ini orang Arab), kemahakuasaan Allah tidak akan menurun. Jadi, saya kalem-kalem saja. Dan, iman saya (yang ketebalannya terasa bertambah, walau tak seberapa) tetap adem.
Ah, dosen ini keliru atau barangkali tidak tahu bahwa "pun" tidak ditulis serangkai dengan "sedikit", seperti terpisahnya pun dari apa, siapa, kapan, di mana, atau ke mana. Saya abaikan lintasan pikiran ini. Kemudian, muncul pertanyaan pamungkas: Memang siapa yang menyebut Allah itu orang Arab?
Tidak usah dijawab, sergah batin saya. Gitu aja kok repot!
#kandangrindu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H