Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jajat dan Cinta yang Pamrih

8 Juli 2017   12:52 Diperbarui: 8 Juli 2017   20:29 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: illustrationsource.com

Gempar. Begitulah suasana kantor Jajat, seorang karyawan swasta, ketika kiriman makanan lewat pesanan GoFood tiba secara bergelombang. Tidak tanggung-tanggung, pesanan makanan itu bernilai jutaan rupiah.

Panik. Kata itulah yang tepat untuk menggambarkan suasana hati Jajat. Betapa tidak, dia yakin tidak memesan makanan. Faktanya, kiriman makanan terus datang. Apa yang harus dia lakukan? Satu-dua pesanan bisalah dia bayar. Bagaimana jika puluhan yang datang? Siapa yang harus membayar seluruh pesanan itu? Bagaimana caranya dia membayar pesanan itu?

Perih. Ya, pasti perih. Tentu saja Jajat merasa perih. Wajah pengantar yang bingung dan gamang, mimik orang-orang sekantornya, perasaannya sendiri yang didera cemas tak berkesudahan--juga perasaan tidak mengerti siapa peneror batin dan dompetnya. Bayangkan jikalau kita yang mengalaminya saat saku sedang kemarau, bayangkan!

Cinta. Syahdan, inilah musabab peristiwanya. Tetapi, ini cinta yang merepotkan. Menyusahkan. Bahkan, menyiksa banyak orang: Jajat, rekan sekantor Jajat, pengantar makanan, satpam gedung, petugas resepsionis, dan lain-lain. Gara-gara cinta sebelah pihak, yang dicintai ternyata tidak mencintai, balas dendam pun terjadi.

Sakit. Yang paling berpeluang membahagiakan kita adalah orang yang "mengaku" mencintai kita. Begitu petuah Naguib Mahfouzh, seorang sastrawan ternama. Namun, orang yang mencintai kita pulalah yang paling mungkin menyakiti kita. Begitu imbuh sastrawan asal Mesir itu. Dan, itulah yang dialami oleh Jajat. Sesuatu yang bisa menimpa siapa saja--meski dengan cara balas dendam yang berbeda.

Murni. Andaikan kita berasumsi bahwa balas dendam akibat cinta tertolak sebagai musabab peristiwa tersebut, maka si pemesan keliru memahami esensi cinta. Pada cinta, kebahagiaan "yang dicintai" adalah muara yang paling dituju. Ditolak, tak apa. Cinta sejati niscaya bisa merelakan. Cinta murni pasti mampu mengikhlaskan.

Tafakur. Mestinya inilah yang dilakukan oleh siapa saja yang ditolak cintanya. Cinta bukan pekerjaan batin yang harus pamrih, bukan. Cinta bukanlah sebentuk proyek hati imbal jasa. Petik hikmahnya. Mungkin Tuhan sedang merencanakan nasib lain yang tidak kita ketahui. Tegarlah. Bukan malah menghujani "yang menolak cinta kita" dengan pelbagai kesusahan. Itu namanya "cinta pada diri sendiri".

Pikir. Eloknya, si pemesan makanan itu sudi berpikir. Berapa banyak orang yang direpotkan dan disusahkan akibat ulah balas dendamnya? Apakah setelah balas dendam maka hatinya akan puas dan tenang? Mungkin puas dan tenang dalam beberapa saat, namun setelahnya barangkali akan dihantui perasaan bersalah.

Usut. Terkait cinta, kita memang harus piawai dalam hal usut-mengusut: apakah kita benar-benar "mencintai seseorang" atau sebenarnya kita "mencintai diri sendiri". Jika kita tiba pada simpulan kedua, kemudian kita kurang arif menyikapinya, akibatnya bisa kusut!

Kandangrindu, Juli 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun