Beberapa hari lalu, seorang teman menanyakan penulisan ejaan adzan, shalat, dan Maghrib. Pertanyaannya cukup menggelitik. Mengapa koran dan penerbit sering menggunakan ejaan yang berbeda dalam menulis ketiga kata tersebut?
Kita tahu bahwa kata azan, salat, dan Magrib diserap dari bahasa Arab. Setelah diserap ke dalam bahasa Indonesia, ketiga kata tersebut secara otomatis termasuk dalam rumpun kosakata Indonesia. Jadi, penulisannya pun harus disesuaikan dengan kaidah penulisan kata serapan.
Kita juga tahu bahwa hanya ada empat gabungan huruf yang melambangkan satu konsonan di dalam bahasa Indonesia, yakni kh, ng, ny, dan sy. Contohnya dapat dilihat pada kata khusus, ngilu, nyeri, dan syarat. Sekali lagi, di dalam bahasa Indonesia tidak terdapat konsonan rangkap dz, sh, dan gh. Itu sebabnya dzat diserap menjadi zat, shahabat menjadi sahabat, atau ghaib menjadi gaib. Itu pula sebabnya kata musibah, nasihat, insaf, kisah, atau maksiat tidak ditulis dengan sh.
Dengan begitu, jelaslah bahwa penulisan yang tepat adalah azan, salat, dan Magrib. Kadang media atau penerbit memiliki kebijakan sendiri terkait gaya penulisan kata serapan. Lazim disebut gaya selingkung. Tak ayal, ada yang menulis ustad, ustaz, dan ustadz. Tidak apa-apa, itu kebijakan mereka. Akan hal berani taat asas, silakan kamu tentukan sendiri. Yang penting, jaga agar periukmu tidak pecah apabila kamu berani-berani melawan kebijakan di tempatmu bekerja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H