Ihwal keberterimaan peranakan Tionghoa di tengah penduduk asli, misalnya. Sabbarak tena ruanna (tiada jalan selain bersabar), pallewai ri susata (penghiburan bagi derita), panrakki antu punna kijallok sarengta (binasalah kita apabila melawan kehendak takdir). Sepintas tidak tampak apa pun selain getir hidup miskin di dalam syair tersebut. Padahal, kita bisa menyelam lebih dalam. Kakek Tuan Hoo sangat dihargai penguasa kala itu, Raja Gowa. Bahkan Tuan Hoo sendiri pernah diundang Presiden Soekarno ke Istana Negara. Akan tetapi, hidup para peranakan Tionghoa lain belum tentu semulus atau seberuntung mereka. Memang sisik-melik keberterimaan selalu pelik dari zaman ke zaman. Hanya saja, maaf, saya tidak akan membabar perkara itu dalam tulisan ringkas ini.
Sekali lagi, menulislah sepenuh cinta. Penyanyi yang juga juru pidato ulung itu tidak serta-merta mengumbar amarah, tidak. Ganjalan di hati selalu beliau tumpahkan ke dalam tulisan dengan elegan dan anggun. Tidak seperti kaum pencela atau pembenci di masa kini yang sangat ganas ketika menyerang dan amat ngotot manakala diserang. Sudahlah. Kita kembali saja ke hadapan Tuan Hoo yang kini diabadikan namanya sebagai nama jalan di Kota Makassar.
Selagi asyik-masyuk mendedah lagu-lagu gubahan beliau, Tuan Hoo dan pemain orkes Singarak Kullu-Kulluwa seketika raib, menghilang begitu saja. Padahal, saya belum sempat mengucapkan terima kasih. Kini, lamat-lamat terdengar suara Ibu mengalunkan Ati Raja yang menyayat-nyayat ketabahan rinduku. Tiba-tiba suara Ibu juga menghilang sebelum sempat saya lunaskan amanat rindu.
Ibu dan Tuan Hoo menyanyi sepenuh hati, sepenuh cinta. Alangkah! [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H