Menulis itu seni. Dengan begitu, seorang penulis niscaya berjiwa seni. Mustahil seseorang menghasilkan tulisan yang menarik, bernas, renyah dibaca, dan sarat makna tanpa ada unsur seni yang menggelimuni batinnya.Â
Meski begitu, jiwa seni seorang penulis mesti terus diasah sebagaimana perupa, pelukis, penyanyi, atau pelaku seni lainnya. Sulit membayangkan seseorang berhasrat menjadi penulis tanpa mempersiapkan batu asah di sisinya. Batu asah itu saya sebut latihan rutin menulis dan membaca tiada henti. Dua resep itu saja sudah amat jitu untuk mengasah kepekaan gramatikal kita.Â
Masalahnya, bagaimana mengasah gairah menulis rutin agar kemauan itu tidak kendor? Apa yang dilakukan supaya minat baca terus bergelora? Wah, saya tidak akan memasuki wilayah kupasan seluas itu. Saya cuma ingin bercerita tentang alangkah tenteram hati saya setiap merampungkan satu tulisan, apa pun itu.Â
Rasanya laksana berada dalam suasana batin pendoa yang terkabulkan permintaannya. Atau, sejenis rasa damai yang menyungkupi hati para penunggu Lebaran yang sekonyong-konyong menerima THR tak terduga. Dengan kata lain, tulisan ini semata-mata kompor yang, saya harap, bisa memanas-manasi kita (Anda dan saya) agar tetap getol membaca dan menulis.
Nah, mari kita bincangkan sisik-melik meracik kata itu.Â
Hal pertama yang saya lakukan adalah rakus membaca. Saya membaca buku-buku kedokteran, padahal saya tidak sedang atau pernah belajar formal di fakultas kedokteran. Saya juga melahap buku-buku antropologi, sosiologi, dan psikologi. Saya baca saja, masa bodoh apakah bacaan itu bermanfaat atau tidak.Â
Apa yang saya baca sekarang suatu ketika pasti bakal berguna. Saya meyakini hal itu. Buktinya memang bermanfaat. Pengalaman tumbuh dan besar di tanah Anging Mammiri membuat saya fasih bertutur, lewat cerpen dan novel yang saya anggit, tentang Makassar dan pernak-perniknya. Buku-buku tentang Bugis-Makassar, juga suku lain di Nusantara, pun seolah makanan favorit saja yang memercikkan air liur setiap melihatnya.Â
Saya bertutur tentang Dayak dalam memoar, Sang Pemimpin Tambun Bungai. Saya bercerita tentang pesantren dan filosofi orang Jawa lewat novel Sepatu Dahlan. Saya gemar menarasikan gejolak batin atau konflik internal tokoh imajiner dalam novel atau cerpen karena, saya percaya, buku-buku psikologi dan filsafat cukup mengayakan batin saya.Â
Singkatnya, seni meracik kata itu harus dimulai dari upaya tak henti-henti mengatrol kecerdasan gramatikal. Adapun pintu gerbang kecerdasan gramatikal itu bernama ilmu pengetahuan yang dapat dibuka dengan menggunakan kunci utama: baca.Â
Penulis yang cerdas secara gramatikal tidak akan kesulitan merangkai kata, meramu gagasan, dan membabarkan pemikirannya. Penulis yang banyak membaca pasti tahu mana kalimat yang utuh, tidak bertele-tele, betul-betul baik, dan menarik.Â
Hanya saja, jangan berhenti di buku saja. Banyak hal di dunia ini yang bisa kita baca. Membaca gaya bicara, mimik, dan perasaan orang terdekat atau orang terkasih kita misalnya. Membaca karakter orang-orang yang bersama-sama dengan kita di dalam angkutan umum, misalnya.Â