Membaca tabiat teman belajar atau bekerja, misalnya. Membaca suasana alam di sekitar kita, misalnya. Kemahiran membaca hal-hal seperti itu akan memudahkan kita dalam membangun rasa. Sementara rasa selalu berawal dari hati. Bukankah segala yang berasal dari hati akan lesap ke dalam hati juga?
Hal kedua yang saya lakukan adalah pembiasaan. Pasti kita semua pernah membaca pepatah alah bisa karena biasa. Pepatah ini mengeram di benak saya sejak masih anak-anak. Akan tetapi, saya baru merasakan manfaatnya setelah secara sadar menceburkan diri ke lautan kata. Tiap hari saya pakai jurus paksa untuk menulis sekurang-kurangnya satu-dua halaman.Â
Tindak paksa inilah yang akhirnya mengenyangkan alam bawah sadar saya, sehingga apabila ada yang menyodori beberapa kata kunci akan langsung dikunyah oleh alam bawah sadar saya untuk dijadikan kalimat. Terakhir saya melakukannya di Parepare dan Palopo, dua kota di Sulawesi Selatan, pada saat mengantar Natisha pulang kampung.Â
Penghadir mengajukan beberapa kata, saya mencatatnya di kepala, lalu mengalirlah kata-kata seperti alir air sungai yang sudah lama dibendung paksa. Spontanitas seperti itu sangat membantu saya ketika dikejar-kejar tenggat tulisan.Â
Itulah dua resep mengasah kecerdasan gramatikal yang saya miliki. Mungkin resep itu tidak tepat bagi Anda, atau malah sebaliknya, tidak apa. Setiap manusia diurapi kemampuan dan kecerdasan berbeda. Anda akan menemukan jalan yang Anda terabas sendiri. Bisa lambat, bisa cepat.Â
Yang penting adalah menjaga letup-letup hasrat membaca dan menulis agar senantiasa menyala dan membara. Bukan sebaliknya, redup dan akhirnya padam. O ya, hampir lupa, merawat semangat juga ada seninya, loh!
 Selamat bertualang di dunia kata! [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H