Di tengah-tengah Peringatan HUT TNI ke-69, ada isu yang dihembus Media-Media yang mengutip ucapan PM Xanana Gusmao tentang kemungkinan Timorleste kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Meski kemudian Media-Media meralat ucapan Xanana tersebut, namun setidaknya isu yang menjadi konsumsi publik di Media-Media itu sempat menjadi Headlinenews dan Berita Terhangat, patut ditelaah dengan otak jernih.
"Di tengah-tengah konflik karena operasi Seroja di Timor-Timur sekalipun, guru tetap mengajar", demikian pengakuan Bapak Lukas Mau, seorang guru muda asal Kabupaten Belu yang dikirim pemerintah ke Timor-Timur pada tahun 1978-1980 kepada penulis ketika masih duduk di bangku SDK Halilulik. Ketika itu, Lukas Mau baru saja tamat SGB, Sekolah Guru Bawah asuhan misi Katolik di Betun-Indonesia. Pada masa awal integrasi Timur-Timur ke pangkuan ibu pertiwi, sebagai guru muda dia ikut diterjunkan ke wilayah-wilayah pelosok Timor-Timur untuk mengajar para siswa/inya tentang Indonesia, tentang ilmu-ilmu agama dan sekular. Ketika itu guru muda Lukas menekankan kepada generasi Timor-Timur bahwa pendidikan membantu mengangkat harkat dan martabat manusia.
Duapuluhtiga tahun berintegrasi dengan Indonesia sebagai samasaudara sebangsa dan setanah air, generasi muda dan rakyat Timor-Timur yang telah tumbuh kesadaran diri akibat kemajuan pendidikan yang ditorehkan para pendidik Indonesia kemudian menghasilkan keputusan paling pahit dan getir serta penuh ratap tangisan ketika itu yakni bahwa orang Timor-Timur memilih merdeka dalam Referendum yang berat sebelah untuk berdiri sendiri sebagai negara.
Sebuah keputusan paling pahit sekaligus telah ikut memberikan sikap serba salah para guru Indonesia yang sangat mencintai tanah airnya, namun ikut berjasa dalam membangun daya kritis generasi Timorleste masa integrasi dahulu bahkan hingga kini. Berjuta perasaan silih berganti menghujam sanubari para guru Indonesia, mengapa semuanya itu harus terjadi, dosa para gurukah? Ataukah kemerdekaan Timorleste merupakan kehendak Sang Khalik?
Kini Timor-Timur yang berubah menjadi Timorleste bahkan sudah 12 tahun berdiri sendiri setelah restorasi kemerdekaan Timorleste oleh Xanana Gusmao tahun 2002. Setelah merdeka, otomatis, Timorleste berdiri di atas warisan Indonesia, masa integrasi. Tak dapat dipungkiri, berbicara tentang generasi Timorleste kini, kita tidak dapat berbicara tanpa peranan guru Indonesia yang berjuang telah jatuh bangun dalam berjuang memberantas kebodohan demi mengangkat harkat serta martabat rakyat Timor-Timur melalui pendidikan. Karena hal itulah maka kita perlu mengakui efek ketergantungan Timorleste pada Indonesia kini, dan masa integrasi dahulu tetap tinggi.
Pertanyaan kita ialah, siapakah yang telah dan akan memberikan pendidikan politik yang sedemikian intensif hingga pada akhirnya telah menimbulkan sikap kritis berlebihan kepada generasi Timorleste sehingga berniat merdeka dari Indonesia? Kalau kita mau jujur, jawaban atas pertanyaan ini yang mungkin ialah guru Indonesia yang pernah jatuh bangun berjuang di sekolah-sekolah di Timor-Timur masa integrasi dahulu, mungkin telah ikut membantu menumbuhkan kesadaran kristis orang Timor-Timur untuk tegar dan kukuh memilih merdeka.
Saya memang tidak pernah berkunjung di kota Dili selama periode integrasi, namun saya sangka, guru-guru Indonesia ikut merangsang daya kritis orang Timorleste untuk kesadaran dirinya. Ajaran tentang HAM universal serta revolusi menumbangkan rezim Orde Baru ikut membuka mata dan membuat daya kritis generasi Timorleste itu mungkin akhirnya bisa bisa bangkit dan bergerak mewujudkan restorasi kemerdekaan Timorleste di tahun 2002. Pada masa awal integrasi, hanya sedikit orang Timorleste yang paham tentang Deklarasi UDHR, Deklarasi HAM PBB dan tentang paham kemerdekaan. Mereka ialah out put pendidikan penjajahan Portugal yang setengah-setengah.
Namun pada zaman integrasi, justeru pemahaman tentang konsep UDHR, Deklarasi HAM PDD dan tentang arti kemerdekaan itu mungkin memuncak akibat derasnya pendidikan dan telah menimbulkan kesadaran kritis generasi mudanya yang kemudian bangkit berjuang untuk kebebasan tanah Timorleste.
Kini generasi Timorleste mestinya perlu sadar akan pentingnya peranan para guru Indonesia dan sudah seharusnya mengembalikan amanah para guru Indonesia yang tersimpan sampai mati dalam sanubari generasi Timor-Timur melalui pendidikan dan tampaknya hal itu bisa saja atau mungkin akan terjadi sebab generasi Timorleste ikut memiliki Indonesia, tanah yang pernah menjadi tanah airnya juga bagi orang Timorleste kini. Andaikan itu terjadi Indonesia dan Timorleste adalah satu kesatuan yang tak terceraikan untuk abadi, ikut memberikan senyum paling bahagia di bibir para pahlawan yang kini terbaring damai di alam sana.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H