Salah satu hal yang harus diakui ialah bahwa saya sering terlambat datang di sekolah atau datang study sore. Hukumannya ialah push up atau dirotani oleh guru piket. Pukulan guru piket sekolah itu membuat saya menangis sebab begitu pedihnya pantat kita kalau terkena "rotan".
Itu terjadi sekitar tahun 1986, saat saya masih bersekolah di bangku pendidikan SMP. Ketika itu, seperti halnya berbagai tingkat pendidikan Menengah di Indonesia, pendidikan dalam prakteknya lebih menekankan soal kedisiplinan dan ketertiban yang berlebihan. Maklumlah, pemerintahan masa itu dipegang oleh rezim militer Orde Baru. Seperti halnya pemerintahan yang dipegang oleh rezim militer di berbagai belahan dunia, kediplinan lebih ditekankan di sekolah dari pada aktivitas keilmuan. Sehingga jangan heran, meskipun para guru dan anak-anak sekolah selalu disiplin setiap haripun, aktivitas keilmuan belum semaju sekarang. Bahkan hal-hal menyangkut materi pelajaran Sekolahpun semuanya perlu didatangkan dari Dinas Pendidikan setempat.
Rupanya hanya guru bahasa Indonesia SMPku sendirilah yang telah menyadari bahwa penekanan pada disiplin yang berlebihan bisa melumpuhkan kreativitas dan peningkatan keilmuan para siswa/i. Dia menggagas Majalah Dinding Sekolah demi mendorong kegiatan menulis para siswa/inya. Sayangnya beberapa saat kemudian, Mading Sekolah menjadi mandek akibat tidak adanya dukungan Sekolah berupa bantuan mesin ketik. Namun setiap kali Mading itu terbit, selalu saja sebuah Puisi saya nongol di Mading Sekolah.
Itulah awal mula ketertarikan saya pada dunia tulis-menulis. Kelak setelah saya tamat SMP, saya dipercayakan menjadi Pemimpin Redaksi (Pemred) Buletin Sol Oriens, yang merambah ke pasaran terbatas dengan harga cukup tinggi ketika itu (1992) antara Rp 2000-Rp 50.000 dalam lingkungan Katolik yakni biara-biara, pastoran paroki dan guru-guru atau orang-orang Katolik. Maklumlah, pada waktu itu hal-hal yang menyangkut publikasi masih terbatas karena kurangnya kemampuan orang dan juga karena rezim pemerintahan.
Pendidikan yang diarahkan militer lebih menekankan karakter manusia. Ini terjadi karena menurut keyakinan miiter, kekuatan karakter manusia yang tinggi dapat memakan 2 kali kekuatan intelektual manusia. Kekekuatan intelektual manusia hanya 1/2 dari kekuatan karakter manusia. Dan terbukti bahwa keyakinan militer itu benar adanya sebab selama 32 tahun berkuasa di Indonesia, kekuatan karakter seorang Jenderal TNI Soeharto bahkan Jenderal Besar TNI Soeharto tak tertandingi oleh kelompok intelektual Indonesia. Saat-saat terakhir pemerintahannya, beliau didampingi oleh Prof Dr BJ Habibie yang terkenal di dunia karena kejeniusannya di bidang pembuatan pesawat terbang.
Sejarah membuktikan bahwa apabila semua kehidupan Indonesia didominasi oleh rezim militer maka Indonesia tidak lebih dari sebagai pasar produksi peralatan militer atau produksi barang-barang dari AS dan Eropa. Pemerintahan yang dipegang oleh rezim militer hanya akan menjadi perpanjangan tangan kemajuan peralatan industri negara lain teristimewa AS dan Eropa. Rezim militer Indonesia hanyalah alat dan sarana luar negeri untuk mendukung industri militernya menjadikan ruang bagi  "base camp" peralatan militer. Selain itu, peralatan militer 'bekas" yang didrop ke Indonesia terbukti membutuhkan biaya operasional yang sangat tinggi. Biaya itu ditanggung oleh rakyat Indonesia melalui rezim militer yang berkuasa.
Pada waktu itu kedisipilinan dan ketertiban merupakan masalah terbesar di negara-negara yang baru saja merdeka termasuk Indonesia ketika masa Orba. Ini terjadi karena menurut pemikiran militer, secara politis Indonesia memang merdeka namun masih parah dalam soal penegakkan ketertiban dan kedisiplinan hidup harian termasuk disiplin hidup dalam dunia kerja.
"Penjajahan baru"yang bernama penegakkan kedisplinan dan ketertiban itu kini masuk dalam lingkungan sekolah, lingkungan rumah, asrama, di tempat-tempat umum maupun dalam lingkungan kerja. Selalu saja ada hukuman badan/fisik maupun hukuman lainnya akibat pelanggaran ketertiban dan kedisplinan itu. Bagi sebuah rezim, ilmu tidak terlalu penting di sekolah, atau hasil pekerjaan tidak terlalu penting di tempat kerja. Yang di atas semuanya itu ialah disiplin, ketertiban dan selalu hadir di tempat kerja atau di sekolah.
Akibatnya, meskipun kita memiliki jutaan anak-anak sekolah setiap tahun, ataupun jutaan PNS/Guru, dll, tak ada satupun inovasi-inovasi baru yang bisa dihasilkan. Kinerja PNS mungkin hanya sebatas 'karena dengan sendirinya" begitu atau lebih bersifat administrasi saja. Kedisiplinan dan ketertiban sering hanya terjadi karena memang orang takut kena hukuman, belum mendarah daging dalam diri kita semua. Bila kedispilinan sudah mendarah daging, dan didukung oleh peningkatan kreatifitas keilmuan, saya yakin Indonesia akan semakin maju dan bermartabat dalam berbagai segi.
____________________________________________
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H