Ternyata Agenda Harian menjadi Media yang mampu merekam dan menyimpan berbagai kejadian pribadi penting dalam hidup seseorang di masa lampau. Sembilanbelas tahun yang lalu, tepatnya 5 Mei 1996, catatan harian dalam Agenda Harianku merekam sebuah peristiwa cukup dramatis yang membuat kehidupan kami berubah drastis. Saat itu, status saya ialah frater Novis SVD tahun kedua. Pada awal masuk tahun pertama Novisiat, kami semua masih cukup banyak yakni sekitar 50-60 orang frater dan bruder Novis SVD namun saat-saat menerima pengumuman akhir itu, yang tersisah hanya sekitar 32 orang frater dan bruder Novis Nenuk saja. Banyak yang sudah dikeluarkan.
Sebuah catatan harian pada buku Agenda Harianku saat itu menggambarkan kondisi yang cukup mendebarkan saat kami menunggu pengumuman untuk berkaul pertama atau tidak dalam SVD:
Cuplikan Catatan Harianku Tahun 1996
Berikut ini saya tuliskan kembali beberapa cuplikan dari catatan harianku berikut:
"Medio 5 Mei 1996, sore yang mendebarkan. Setelah baru kembali dari pantai Suai Loro yang mengesankan itu, saya sudah pasrah secara penuh. Mau diterima kaulpun ok dan mau ditolakpun ok. Setelah bermeditasi di hadapan fajar pagi yang barusan merekah di tepi pantai Suai Loro, saya sungguh-sungguh telah pasrah. Dan saya secara pribadi telah kembali dengan penuh semangat untuk memulai suatu masa depan yang lebih baik dan sukses di hari-hari yang akan datang. Perasaan saya sore itu sulit saya ungkapkan antara takut, dada berdebar-debar, sedih, bingung pokonya sunguh rumit. Saya melewati sore ini di perpustakaan bahasa Indonesia sambil membaca majalah DIAN. Di meja makanpun saya tak banyak bicara dan tak ada nafsu makan sama sekali. Saya hanya menhabiskan1/2 piring yang ada. Soalnya saya secara pribadi sedikiit yakin bahwa saya akan ditolak untuk berkaul pertama. ........dst..Mungkin hanya mukzizat dan panggilan Tuhan yang murnilah buat saya bisa diterima. 1 jam sebelum terima, 8.45 malam. Puncak rasa ketakutan saya nampak. kaki tangan saya gemetar. Tuhan kuatkanlah aku. Akhirnya kucoba putuskan untuk berdoa 20 menit di kapela. Khusuk sekali. Aku berdoa 3 x salam maria dan 1 Bapak Kami. Aku larut dalam doa, dalam meditasi. ....dst.....tetapi tiba-tiba aku seolah mendapat kekuatan dan peneguhan dariNya, "...Jangan takut Aku masih membutuhknmu.."aku mendengar suara gaib yang berbisik padaku. .....dst...Aku keluar Kapela dengan hati tenang. Di muka bilik Pater Magister, teman-teman sudah menunggu. ...dst..Tiba pada giliranku. Aku masuk. Pater magister mempersilahkan aku agar duduk. Dia memberikan sebuah amplop. Kubuka dengan tenang. "Apa?, tanya beliau. "Lulus', jawabku. Bukan main. Syukur pada Tuhan. Suksesku kukembalikan padaNya. Dengan mata berkaca-kaca karena terharu kubuatkan tanda salib di dahi. Aku maju ke depan. Kucium tangan Pater magister. ......dst. Oh Tuhan, terima kasih ternyata kau lebih kuat dari aku............dst....".
Catatan harian itu merekam nama-nama sahabat-sahabatku yang gagal diterima. Mereka yang gagal menangis dengan tangisan sedih. Kutatap mereka dengan terharu dan berjabatan tangan mengucapkan kata perpisahan dan terima kasih atas kebersamaan selama 2 tahun penuh. Kemudian, esok harinya mereka yang gagal pergi kembali ke rumah orang tua dengan mobil ditelan kesibukan hidup. Malamnya, ketika makan malam hanya tertinggal kami 22 orang di antaranya saya, Valerianus Kopong Tupen, Stefanus Baghi, Kosmas Kondang, Yoseph Geroda, Arnoldus Wula, P. Vincent Adi Gunawan, P. Ferdi Fahik Asa, P. Zakarias Kalik, P. Yustinus Nenat, P. Rudolfus Oetpah, dll.
Setelah beberapa minggu kami diijinkan berlibur sekitar 1 bulan di rumah masing-masing. Kami kembali sekitar sebulan sebelum ucapkan kaul pertama pada 15 Agustus 1996. Esoknya kami berangkat ke STFK Ledalero Flores untuk mulai pendidikan imam dan kuliah filsafat. Dua tahun kemudian sekitar bulan Juni 1998, saya mengundurkan diri namun tetap kuliah Filsafat hingga selesai tahun 2002. Kawan-kawan seangkatanku sibuk dengan program pendidikan imam, bahkan dua diantarnya telah dikirim ke Eropa ketika kami masih tingkat II Filsafat.
Catatan harianku meninggalkan kesan sebuah pendidikan dan pembinaan yang sangat tegas dengan disiplin hidup membiara yang sangat tinggi. Kami tidak boleh bicara seenaknya. Sembilanbelas tahun kemudian, ketika saya membaca kembali catatan harian ini, dada saya masih berdebar-debar namun kali ini dalam rasa syukur  bahwa saya diijinkan Tuhan untuk bisa merasakan pendidikan biarawan-imam yang sedemikian ketat namun saya bisa diterima berkaul pertama. Ini semua merupakan pengalaman pribadi yang menjadi milik saya dan akan saya kenangkan dan ceriterakan sebagai pengalaman saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H