Boleh dikatakan, budaya blasteran atau pencampuran mulai menguat sejak munculnya zaman industrialisasi di Eropa dan Amerika pada abad 18. Budaya blasteran ini juga berdampak di seluruh Hindia Belanda disebarkan oleh bangsa kolonial Belanda. Pada zaman industrialisasi, pendirian pabrik-pabrik meningkat cepat, utamanya pabrik gula di Jawa, kina, obat-obatan, pakaian, bahan-bahan bangunan, dll. Kemajuan sarana transportasi akibat industrialisasi ikut mempertinggi proses asimilasi budaya-budaya di Nusantara.
Dalam zaman industrialisasi, pabrik-pabrik membutuhkan tenaga-tenaga buruh dan pembangunan-pembangunan berbagai sarana kehidupan membutuhkan tenaga-tenaga terampil. Pada gilirannya kegiatan pasar-pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi dan sekolah-sekolah sebagai tempat pendidikan dan pelatihan yang didirikan pemerintah kolonial secara terpusat pada pulau dan kota-kota tertentu ikut mempercepat arus asmiliasi.
Hal yang sama menimpah Timor dan Flores, 2 dari 3 pulau besar di Provinsi NTT yang memiliki latar belakang kesamaan sejarah meskipun berbeda budaya-budaya daerahnya. Zaman industrialisasi telah meninggalkan laju asmiliasi antara penduduknya secara mendalam. Proses asimilasi paling pertama ialah melalui perkawinan campuran. Dengan latar belakang perbedaan budaya, 2 orang insan dari 2 pulau berbeda menikah dan hidup dalam lembaga perkawinan. Dalam lembaga perkawinan, perbedaan-perbedaan antara kedua insan ikut menjadi warna-warni kebahagiaan mereka.
Patut diakui, pembangunan industri di kawasan Timor dan Flores sejak abad 18 tak semaju daerah-daerah lain utamanya Jawa sebagai pusat perkembangan industri zaman Hindia Belanda hingga kini di mana ikut menyebabkan budaya blasteran melanda semua segi masyarakatnya yang pada gilirannya melahirkan budaya hibrid lebih banyak dan lebih terasa. Budaya hibrid ialah budaya-budaya baru yang diciptakan oleh kebutuhan dari produk pasar yang cepat, tepat, terkenal, murah dan meriah.
Budaya hibrid merupakan budaya hasil produksi dari pencampuran banyak budaya pendatang, berupa makanan, pakaian, perumahan, barang-barang elektronik, komputer, internet, transportasi, dll. Sekian kuatnya budaya hibrid sampai budaya ini memiliki kemampuan mengantikan budaya-budaya asli yang dicap mulai ketinggaan zaman.
Budaya hibrid membutuhkan kekuatan dan penguasaan ilmu pengetahuan. Persoalan ketertinggalan pendidikan membuat satu sisi dari budaya hibrid ialah meningkatnya pertumbuhan kantong-kantong kemiskinan utamanya di kota-kota pada pulau Jawa dan bagian barat Indonesia. Sedangkan kantong-kantong kemiskinan berada di desa-desa pada wilayah timur Indonesia.
Perkembangan zaman tak dapat dibendung, namun sesuatu yang pasti adalah hendaknya budaya blasteran ataupun budaya hibrid harus didukung oleh meningkatnya kenyamanan kehidupan. Kenyamanan hidup ialah daya tarik, yang selama ini didominasi oleh budaya lama, pada saatnya harus berpindah ke generasi baru yang akan hidup dalam budaya hibrid dan blasteran atau percampuran budaya saat ini.
Rasionalisasi ialah tanda dari sebuah budaya blasteran dan hibrid. Kalau dahulu rasionalisasi dikuasai oleh adat istiadat, maka dalam budaya blasteran rasionalisasi dikuasai oleh kekuatan daya kreasi, olah cipta dari akal budi  manusia yang bisa diterima oleh semua manusia. Rasionalisasi dari budaya blasteran bukan lahir dari pengetahuan dalam pendidikan semata-mata namun dari hasil mengolah pengalaman demi pengalaman hidup manusia sendiri. Pengalaman yang dituliskan melahirkan rasionalisasi dan rasionalisasi dianggap sebagai jembatan emas menuju ilmu pengetahuan dan teknologi demi mencapai kebahagiaan hidup manusia kini dan nanti
Artikel lainnya Kaum Blasteran Flores dan Timor
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H