Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Alumnus Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Tahun 2008. (1). Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat", (2). A Winner of Class Miting Content Competition for Teachers Period July-September 2022. (3). The 3rd Winner of Expat. Roasters Giveaway 2024. Wa: +6281337701262.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mempersoalkan "Ketelitian" Vonis Mati

6 Maret 2015   09:05 Diperbarui: 5 Januari 2017   04:56 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Publik dunia bahkan menjadi saksi bisu bagaimana kasus yang pernah menimpah Wilfrida Soik, yang terancam divonis mati akhirnya batal, bahkan Wilfrida Soik bisa menikmati vonis bebas murni, ini tidak lain karena adanya novum baru atau bukti baru yang disodorkan oleh pihak gereja terkait validitas hari kelahiran Wilfrida Soik pada saat kejadian pembunuhan terjadi. Melalui surat permandian, terbukti, bahwa saat kejadian pembunuhan di Malaysia itu, Wilfrida Soik terbukti masih di bawah umur, yakni batas umur yang memungkinkan dia terhindar dari vonis mati.

Padahal dalam berbagai bukti dokumen kerja, Wilfrida Soik dinyatakan berumur layak. Bukti umur dalam dokumen kerja itu ternyata merupakan bukti dokumen palsu dan hasil rekayasa belaka, sebab tak sesuai dengan kenyataan sesungguhnya sebagaimana dibeberkan oleh pastor paroki melalui surat babtis, orang tua dan pihak Pemda Belu. Akhir dari sandiwara panjang yang mendapat dukungan luas dari berbagai kalangan di dunia berakhir. Wilfrida Soik dinyatakan bebas dari hukuman mati.

Kasus Wilfrida Soik setidaknya membuka mata banyak kalangan bahwa setiap keputusan pengadilan tidak dijamin benar 100% namun selalu perlu mendapatkan pembuktian yang superteliti, apakah si terdakwa benar-benar melakukannya dan juga apakah benar-benar bisa diterima secara logis rasional akan vonis mati itu? Setidaknya kasus Wilfrida Soik menjadi pembelajaran bagi kita semua, bahwa selalu ada hal-hal atau bukti-bukti baru yang sering kali dilanggar atau kurang diperhatikan secara jeli oleh berbagai kalangan, maka perlu kolaborasi atau dukungan agar vonis mati itu bisa terlaksana secara tepat dan teliti.

Faktor ketelitian dan keakuratan sering menjadi kendala, mengapa pelaksanaan hukuman mati itu selalu penuh perhitungan dan kehati-hatian yang sangat. Ini terlihat dalam saat-saat terakhir, tampak beberapa terpidana mati masih terus mencoba untuk menggugat ketelitian hakim melalui proses PK, seperti yang kini terjadi dalam diori terdakwa Mary Jane Veloso, demikianpun terpidana kasus Duo Bali Nine dan terpidana mati asal Brasil dan Perancis yang sedang mengusahakan PK di MA pada saat-saat terakhir pelaksanaan hukuman mati. Bebagai reaksi kalangan di seluruh dunia berdatangan menuntut kejelasan kasus dan ketelitian, membuat Presiden Joko Widodo menunda eksekusi mati agar tidak bisa dilaksanakan dalam minggu ini. Ada batas-batas tertentu dan ada tolerasi tertentu bagi pembukaan kasus terkait ketelitian dan keakuratan vonis mati itu.

Bila ada bukti-bukti baru yang nyata bukan tidak mungkin sejarah akan berubah 180 derajad bagi sang terpidana mati di saat-saat terakhir pelaksanaan hukuman mati. seperti sedikitnya disinggung dalam perkara PK bagi Mary jane Veloso yang memberikan kesaksian bahwa dirinya dipaksa membawa heroin seberat 2,6 kg karena dijanjikan untuk mendapatkan pekerjaan, ataupun terpidana mati asal Nigeria yang tetap tidak bisa menerima hukukan mati karena faktor kemiskinan ekstrim demi perjuangan untuk bisa hidup.

Terpidana mati asal Nigeria pernah mengeluarkan unek-uneknya ketika dia diwawancarai oleh Media, "Kalau saya seorang bandar dan memiliki banyak uang, saya bisa menerima hukuman mati ini, namun saya adalah seorang miskin yang dipaksa membawa heroin demi untuk saya mendapatkan $2000 untuk bisa bertahan hidup dalam kemiskinan, dan anda menghukum mati saya. Sungguh saya tidak bisa menerimanya, dan saya bermimpi untuk kembali ke tanah saya Nigeria untuk bertemu kembali dengan saudariku...".

Ketepatan, ketelitian, dan keakuratan data-data, rekaman peristiwa, pemahaman kata dan kalimat sering menjadi faktor-faktor yang bisa mengubah sejarah dan vonis hukuman mati, terutama bila, ada institusi atau orang-orang kuat yang bisa membuktikannya. Itu bisa membuat sejarah seseorang bisa berubah, seperti yang pernah dialami banyak terpidana mati, di mana Wilfrida Soik hanyalah salah satu yang bisa diambil sebagai contoh paling nyata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun