Sudah 3 hari saya mengeluh sakit pada bagian pinggang, belakang dan kedua pangkal paha. Sakitnya minta ampun, sehingga membuat saya lemas. Saya harus mengkonsumsi pil anti sakit agar bisa tidur sedikit. Tapi sudah mulai baik lagi. Saya putuskan konsumsi obat lalu tidur pulas. Di rumahku sangat mendukung saya untuk istirahat. Namun dalam keadaan beginipun, pikiran saya selalu kembali ke sekolahku. Saya akui bahwa jumlah siswa/i kita hingga ke seluruh pelosok nusantara cukup menjanjikan. Banyak dari antara mereka memang pintar-pintar. Termasuk para siswa/i saya memang pintar-pintar. Sayangnya mereka tinggal di sebuah daerah yang secara geografis sangat jauh dari Jakarta, pusat perkembangan Indonesia.
Begitu cerdasnya mereka sampai, membaca satu kali saja sudah bisa langsung masuk di otak dan tinggal dalam jangka waktu yang lama. Ini sangat menjanjikan. Namun sayangnya sebagai negara berkembang, atmosfir riset di Indonesia saat ini masih rendah dan belum terlalu berkembang dengan baik. Termasuk jumlah publikasi yang masuk perpustakaan sekolah masih terbatas. Belum terlalu banyak. Bahkan kadang-kadang satu pelajaran hanya terdapat satu terbitan malah. Hal ini disebabkan semangat untuk menulis dan menerbitkan buku semakin lemah dari tahun ke tahun. Saya ambil contoh, di Perpustakaan sekolah saya, 29 buah buku cetak bahasa Jerman harus melayani tidak kurang dari 300 siswa/i. Kuantitas buku terbatas, memaksa 2 orang siswa/i menggunakan 1 buah buku untuk setiap kali pelajaran. Lalu ke-29 buah buku-buku itu dikembalikan lagi ke Perpustakaan. Kalau selama sehari saya 3 kali mengajar berarti ke-29 buah buku itu harus berpindah-pindah ke kelas.
Boleh dikatakan bahwa sistem UU Pendidikan kitapun tampaknya belum terlalu banyak mendukung ilmuwan. Meskipun UUD 1945 mengisyaratkan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBNpun, tampaknya belum bisa dimanfaatkan atau diberikan seutuhnya bagi para agen pendidikan kita, utamanya untuk kebutuhan atau kepentingan riset para ilmuwan.
Bisa saja bahwa anggaran dana sebesar 20% untuk Pendidikanpun mungkin hanya titipan asing atau hanya menguntungkan kaum elite Jakarta. Mentalitas korupsi masih tetap ada, juga termasuk di sektor pendidikan. Oleh karena kurangnya aktivitas riset dan publikasi ilmiah karena para pendidiknya atau dosennya lebih mengejar kuantitas jam mengajarnya untuk kepentingan nafkah hidupnya, sedikit banyaknya telah melupakan riset. Akhirnya terkesan dapat menambah kesan dana siluman karena tidak adanya figur ilmuwan kuat yang hampir 100% aktivitasnya untuk akademik. Bahkan banyak ilmuwan mengalihkan aktivvitasnya untuk politik, lupa habitatnya sebagai ilmuwan/i. Jam-jam mengajar dihabiskan untuk mengajar di berbagai sekolah, lupa melakukan riset untuk publikasi ilmiah.
Salah satu sebab melemahnya penghargaan terhadap guru ialah bahan-bahan ajar, termasuk buku-buku pelajaran sekolah, banyak juga yang bukan ditulis oleh guru atau dosen, kemudian dibeli hak publikasi oleh pemerintah melalu BSNP, melalui BSNP, pemerintah memilah-milah yang terbaik, mencetaknya banyak-banyak lalu mengirimkannya ke semua sekolah.
Semoga pada suatu titik, minat dan perhatian semua ilmuwan menjadi tinggi untuk melakukan riset bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dapat mengatasi berbagai ketertinggalan budaya dan ekonomi....
_______________________
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H