Dalam ruang untuk para guru di sekolah, kami sering berdiskusi tentang rencana pernikahn seorang rekan guru, kematian orang tua siswa/i atau orang tua para guru. Salah satu yang menarik perhatian saya ialah tentang perkawinan dan kehidupan keutuhan keluarga yang terancam hancur. Ada cukup banyak guru-guru yang sudah memiliki anak namun tidak memiliki suami.
Bukan di sekolah tempat saya mengajar saja, namun umumnya di banyak sekolah ada kejadian dalam hubungan dengan aturan agama dalam soal keluarga. Juga ada guru-guru yang meskipun sudah menikah resmi, memiliki isteri atau suami dan selanjutnya memiliki anak lagi. Hal-hal semacam itu menjadi penyebab persoalan sebab bagaimanapun sekolah menjadi contoh yang nyata bagai khayalak umum. Artinya kehidupan keluarga guru dalam hal iman menjadi teladan bagi semua orang karena guru ialah teladan.Â
Tentang pernikahan kedua, gereja Katolik memang sulit mengabulkannya, banyak guru karena memiliki persoalan demikian dianjurkan untuk berhenti jadi guru dan berhenti menerima sakramen komunio setiap hari. Dalam pernikahan gereja protestan dan muslim mungkin ada kemudahaan dan keterbukaan untuk menikah lagi, ada keterbukaan peluang untuk perceraian. Bagi pernikahan katolik tidak ada kata perceraian. Sifat pernikahan katolik ialah monogam dan tak terceraikan. Artinya menikah untuk seumur hidup dan tetap bersetia hingga ajal menjemput.Â
Oleh karena guru menjadi teladan masyarakat, maka guru harus memiliki kehidupan iman dan agama yang baik. Tindakan melawan norma agama, dengan misalnya: menikah lagi tanpa sakramen gereja, memiliki anak di luar nikah resmi, dll, akan membuat guru itu harus berhenti menjadi guru dan berhenti menerima sakramen gereja.
Sampai masalahnya selesai. Demikian pun murid atau siswa/i yang hamil atau menghamili pacarnya, atau terlibat berbagai kejahatan berat, harus berhenti dari sekolah. Hal-hal itu namanya melawan norma agama. Oleh karena norma agama berkaitan dengan norma-norma lain, seperti norma hukum, norma kesusilaan, norma adat, maka apabila dibiarkan akan terjadi gangguan ketenteraman kehidupan bersama. Kehidupan manusia Indonesia diatur oleh norma-norma demi teciptanya kebahagiaan manusia.
Jadi apabila melanggar norma, utamanya norma agama, guru atau murid sebaiknya berhenti saja. Guru yang melanggar norma agama tidak boleh mengajar di kelas atau memimpin doa, apalagi sampai berkotbah.
Pernah saya sampai menegur beberapa rekan guru, kalau belum menikah gereja namun sudah punya anak, jangan pimpin ibadah atau angkat doa atau ajar anak, apalgi ajar agama, rasanya sangat menjengkelkan. Bagi umat katolik yang melanggar norma agamanya saja, gereja melarang untuk menerima sakramen komunio setiap hari sampai masalahnya selesai, apalagi memimpin doa atau ibadah atau semacamnya.
Hukuman terhadap mereka yang lalai terhadap aturan agama katolik dewasa ini bukan hanya bagi individu yang bersangkutan namun bagi kedua orang tua individu/pribadi yang bersangkutan. Mereka semua dilarang menerima sakramen komunio dan larangan-larangan lainnya. Bila masalahnya berat, gereja katolik harus mengekskomunikasikan seseorang anggota gereja katolik, baik permanen maupun selama dalam jangka waktu tertentu, sesuai dengan hukum kanonik. Hukum kanonik merupakan kontitusi resmi yang mengatur hukum agama katolik sejagat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H