Liburan sekolah akan tiba pada pertengahan bulan Juni setiap tahun. Saya teringat akan kewajiban tahunan ini sejak saya bersekolah di SD hingga kuliah yakni ke rumah nenek dan kakek di kampung. Peristiwa itu terjadi antara tahun 1989 ke bawah. Di rumah nenek, Â apa yang saya kerjakan, ya tentu membantu kakek dan nenekku untuk bekerja di kebun dan mengurusi ternak. Tentu dalam semangat kegembiraan liburan. Kakek dan nenekku ialah petani dan peternak. Mereka tinggal di pinggir jalan raya Kupang-Atambua, nama kampung itu Nurobo (sekarang kabupaten Malaka).
Setiap hari mulai dari pagi hingga petang kami semua berada di kebun. Kecuali hari minggu dan hari senin. Hari minggu biasanya saya dan nenek berdoa di gereja Katolik. Nenek dan kakekku biasanya tidak bekerja pada hari minggu. Hari senin merupakan momentum yang bagus untuk pergi ke pasar mingguan kampung. Di pasar, nenekku menjual hasil kebunnya lalu membeli minyak tanah, garam, ikan, dll.
Setiap hari rata-rata orang-orang sekampung nenek semuanya berada di kebun untuk bekerja. Sejak pagi hingga sore atau petang. Di kebun nenek ada sebuah rumah atau pondok yang disebut Laen, tempat kami beristirahat setelah habis bekerja. Kebun nenek terletak di sebuah pinggir sungai yang sejuk. Di sungai itu kami biasanya mandi, mencari ikan, mengambil air minum, mencuci, dll. Juga air sungai digunakan untuk memberi minum pada ternak.
Bulan Juni seperti ini ialah kesempatan memanen padi. Kami semua bersama nenek, juga 3 ekor kuda yang kuat kami bawa serta untuk nenek dan kakek memanen padi. Padi dipetik dengan pisau lalu diinjak dengan kaki atau dipukul dengan tongkat agar biji padi terpisah dari bulirnya. Ini merupakan tugas kami anak-anak pria. Setelah itu wanita-wanita kebagian tugas haliri yakni memisahkan padi bernas dengan padi tak bernas atau ampas. Selanjutnya padi bernas disimpan di dalam karung untuk di bawah pulang dengan menggunakan kuda.
Sebagai anak laki-laki saya kebagian tugas mengangkat padi dengan kuda ke rumah nenek. Jaraknya memang jauh. Namun karena di atas kuda, biasanya kami cukup terhibur. Berkendaraan kuda ternyata menyiksa juga. Duduk dengan selangkangan pada punggung kuda membuat luka pada maaf pantat kita.
Pada saat panen begini nenek memasak beras yang ditumbuknya dengan lesung. Lauknya ikan lele, mujair atau burung puyuh. Juga sayuran yang hidup di sawah. Ternyata air pada sawah memiliki ikan juga. Ikan-kan itu ditangkap lalu dijadikan lauk. Panen padi merupakan kesempatan gembira buat kami, karena kami selalu makan nasi beras. Ini berbeda bila pada bulan Pebruari, nenek memanen Jagung kering. Pada saat panen jagung kering, setiap hari selalu ada menu jagung rebus dengan kacang dan sayur. Gigiku tak kuat bila selalu makan jagung rebus.
Setiapkali selesai panen jagung dan padi nenek membuat semacam pesta kampung. Dia membunuh seekor ternak untuk menjamu orang-orang sekampung mengikat jagung. Jagung-jagung perlu diikat dalam bentuk Setali=6 bulir jagung, seknu=12 tali dan sekayu=12 knu. Jagung-jagung itu diikat rapi sebelum dimasukkan ke dalam lumbung nenek yang terletak di atas loteng rumah.
Selain berkebun dan bersawah, saya juga membantu nenek beternak sapi. Sapi-sapi dikandangkan dalam kandang sapi berbentuk bundar. Selain sapi-sapi nenek dan kakek, di kandang juga terdapat belasan sapi-sapi milik orang tuaku. Jadi sapi-sapi itu merupakan kumpulan sapi-sapi keluarga besar yang merupakan anak-anak kandung nenek. Saat menggembalakan sapi merupakan saat penuh penderitaan bagiku. Biasanya kami berdua saja. Sendirian di hutan dan padang rumput. Membawa bekal nasi. Sering paman bungsuku yang seumur dengan kakakku menggunakan waktu untuk berburu burung puyuh dengan anjingnya. Kalau burung puyuh berhasil diburuh berarti kami dapat makan dengan daging burung puyuh, kecil-kecil dibagi rata!
Sayangnya kebersamaanku bersama nenek di rumah nenek harus berakhir karena saya dipesan ayahku untuk pulang ke rumah. Rumah orang tuaku cukup jauh dari rumah nenek. Jaraknya sekitar 15 km. Ayah dan bundaku juga memiliki tanah pertanian. Cukup luas. Saya harus pulang untuk bersekolah. Sejak SMA, saya sudah jarang berada di rumah nenek.
Pada tahun 1992, kakekku meninggal dunia dan tahun 2005, nenekku menyusul kakekku. Keduanya dikebumikan di samping rumah. Sejak kakek dan nenek meninggal, terasa benar perubahan dalam keluarga besarku. Kami jarang bertemu lagi di rumah nenek dan kakek seperti dahulu. Kini rumah nenek dan kakek dijaga oleh paman bungsuku. Dia mengurus kebun dan ternak warisan kakek dan nenekku. Tahun 2002, ayahku juga meninggal. Makin sepih rumah. Kami menjadi anak-anak yatim. Kini hanya ibuku yang merupakan anak sulung kakek dan nenek menjadi semacam orang tua dalam keluarga besarku.
Semua pamanku merupakan petani dan peternak. Meskipun kakek dan nenek telah meninggal namun kebiasaan bekerja di kebun dan beternak tetap dilakukan oleh paman-pamanku dan mama kecilku. Kini saya pun kadang-kadang ke kebun, di mana dahulu terdapat kebun dan sawah nenek dan kakekku. Tentu sambil bernostalgia, saya dapat menyantap tomat segar, sayuran dan buah-buahan teristimewa kelapa muda. Asyik banget kalau memiliki keluarga petani dan peternak. Banyak hal tidak perlu dibeli. Selalu segar.