Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Guru profesional Bahasa Jerman di SMA Kristen Atambua dan SMA Suria Atambua, Kab. Belu, Prov. NTT. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Istilah "Masyarakat Lokal", Masih Relevankah?

21 Februari 2014   04:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:37 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pengertian 'budaya lokal' selalu berbarengan dengan budaya yang 'terisolir', dan bila dikenakan bagi masyarakat yang seharusnya disentuh dalam pembangunan secara berkeadilan maka sebutan 'budaya lokal'  bagi masyarakat NTT telah dibuat asal-asalan, terkesan dibuat tanpa dasar analisis yang mendalam dan bermakna subjektif.

Secara antropologis-budaya, Masyarakat NTT terdiri dari puluhan etnis. Etnistitas pada masyarakat NTT-Indonesia sudah terorganisasi melalui sejumlah 21 kabupaten-kabupaten di NTT. Secara budaya tradisional, masyarakat NTT juga memiliki bahasa-bahasa daerah yang terkenal seperti bahasa Tetum, bahasa Marai, bahasa Kemak, bahasa Rote, bahasa Sabu, bahasa Dawan Manulea, bahasa Dawan, bahasa Alor-Abui, Alor-Pantar, bahasa Lamaholot, bahasa Sikka, bahasa Ende-Lio, bahasa Bajawa, Nagekeo, bahasa Manggarai, bahasa Sumba, dll.

Bahasa-bahasa daerah di NTT-Indonesia merupakan wujud kebudayaan yang paling pertama dan paling nampak ke permukaan. Maka bahasa-bahasa daerah ini mewakili wujud kebudayaan masyarakat tradisional NTT yang lebih tepat disebut kebudayaan 'sub-bangsa' atau 'budaya etnik' atau 'suku bangsa' (Prof. Edi Sediawati: Budaya Indonesia, P.381). Sebutan sub-bangsa dan suku bangsa lebih memiliki tendensi yang positif, cerdas, hati-hati dan berangkat dari analisis ilmiah yang mendalam dibandingkan dengan istilah ''budaya lokal'.

Pada umumnya suatu suku bangsa atau subbangsa atau suatu etnik memiliki suatu tanah asal tertentu di daerah NTT-Indonesia. Luas wilayah etnik-etnik tersebut bisa wilayah yang kecil hingga wilayah yang luas. Secara esensial wilayah kabupaten merupakan sebuah wilayah etnik yang lebih luas dan sudah tercampur dengan berbagai etnik yang lebih banyak. Saya memberikan contoh: secara antropologis terdapat etnik budaya Tetum yang mendiami wilayah Malaka dan Belu-Tasifeto, etnik budaya marae mendiami wilayah Lamaknen, etnik budaya dawan-manulea mendiami wilayah Manulea, etnik budaya Dawan TTU mendiami kawasan kabupaten TTU dengan berbagai wilayah kerajaannya, ada Biboki, Insana, dll. Etnik budaya Lamaholot mendiami kawasan Flores Timur daratan, Adonara, Solor, Lembata, etnik budaya Rote mendiami pulau Rote, etnik budaya Sabu mendiami Sabu, etnik budaya Sikka mendiami wilayah Sikka, dst.

Pada masa sekarang etnik-etnik budaya di atas kini tidak lagi menghuni wilayah asalnya 100% seperti dahulu. Akibat mobilisasi penduduk yang menimpah wilayah-wilayah NTT selama berabad-abad, ada kelompok-kelompok etnik budaya  telah keluar dari ruang lingkup daerah etnik budayanya dan pergi ke lain daerah etnik budaya dengan tujuan misalnya untuk mencari nafkah atau bekerja, bersekolah, kuliah, perkawinan, dll.

Mobilisasi penduduk juga berarti perpindahan etnik-budaya ke daerah etnik budaya lain. Di daerah etnik budaya yang didatangi tersebut etnik budaya itu menyelinab masuk dan menjalin komunikasi serta persahabatan dengan etnik budaya yang didatanginya. Kenyataan seperti ini menunjukkan bahwa dari waktu ke waktu selama puluhan tahun bahkan berabad-abad telah terjadi mobilitas masyarakat penduduk dari berbagai etnik budaya yang menyebabkan keluarnya etnik-etnik budaya dari lingkungan asal etnik budaya itu, membuat semakin luasnya daya jelajah etnik budaya itu untuk keluar dari daerahnya dan menyelinab masuk ke kawasan hunian subsuku bangsa yang didatangi.

Mobilitas penduduk yang berasal dari kawasan etnik budaya di bagian lain wilayah Indonesiapun kini telah juga menyelinab masuk ke etnik-etnik NTT selain saling menyelinab antara etnik budaya di NTT sendiri. Penyebab mobilisasi penduduk itu ialah karena pekerjaan sebagai PNS, guru, polisi, tentara, perdagangan, pembangunan, perkawinan, dll.

Hal yang paling banyak terjadi ialah lewat perkawinan antar etnik budaya. Seorang pria suku budaya Bugis yang menikah dengan wanita suku budaya Tetum, misalnya akan menghasilkan anak-anak suku budaya Bugis yang menyelinab masuk ke kawasan hunian orang budaya tetum, berakulturasi lalu menjadikan budaya orang tetum tidak lokal lagi. Demikianpun perkawinan antara etnis budaya Jawa-Belu, budaya Bali-Belu, dll.

Maka oleh sebab mobilisasi itu sekarang ini banyak penduduk dengan etnisitas yang berbeda dapat mudah ditemukan di kawasan NTT. Kota-kota di NTT, desa-desa bahkan kampung-kampung telah menjadi sebuah hunian di mana terdapat suku bangsa yang heterogen. Sesungguhnya sekarang ini telah terdapat banyak suku-suku bangsa yang mendiami sebuah kampung, desa bahkan kota-kota. Akibat hidup bersama ini maka tradisi budaya asli daerah juga mengalami akulturasi yakni pencampuran budaya. Dalam pertemuan antara budaya dari etnis budaya yang datang dengan yang lebih dahulu ada itu telah terjadi 'pencampuran budaya' yang disebut akulturasi.

Oleh akulturasi maka budaya-budaya yang lemah dan jelek akan hilang. Sedang budaya yang baik dan berkualitas akan dipertahankan atau diperbaiki menjadi lebih baik. Tarian Likurai misalnya, sekarang ini dapat ditarikan oleh orang dari suku budaya bukan budaya Tetum dengan busana dasarnya misalnya tenunan orang Sikka, Lamaholot, dll. Bahkan penari Likurai di TVRI ditarikan oleh orang dari subbangsa yang bukan tetum misalnya subbangsa Jawa, subbangsa Bali, dll. Maka kita memahami sini bahwa oleh akulturasi kebudayaan, tarian Likurai mengalami perkembangan melalui pertemuannya dengan budaya-budaya lalu mengalami akulturasi dan akhirnya menjelma menjadi tarian Likurai yang bersifat budaya nasional Indonesia dan karena itu bukan bersifat lokal lagi.

Mobilisasi penduduk itu terlihat misalnya pada kampung Halilulik di desa Naitimu, kabupaten Belu-NTT-Indonesia. Wilayah kampung Halilulik dahulunya merupakan wilayah pemukiman etnisitas-budaya Tetum Naitimu. Namun oleh mobilitas penduduk selama berabad-abad maka kampung Halilulik kini telah menjelma menjadi sebuah kampung kemajuan, di mana ditemukan penduduk dari berbagai subbangsa seperti: budaya orang Rote, etnis keturunan China, budaya orang Sabu, orang Jerman, budaya Bugis, budaya Jawa, budaya Sumatra, budaya Kalimantan, Belanda, budaya Sikka, budaya Ende, budaya Lamaholot, budaya Manggarai, budaya Marae, budaya Kemak, budaya Dawan-Manulea, budaya Dawan TTU, budaya Dawan TTS, budaya Oecusee, budaya Tilumaar-Timor Leste, dll.

Fakta adanya mobilisasi masyarakat dari subsuku bangsa dari Indonesia bahkan dari seluruh dunia inilah yang menyebabkan istilah "lokal" untuk menyebutkan kebudayaan tetum tidak lagi tepat, demikian pun istilah lokal untuk menyebutkan budaya-budaya subsuku bangsa dari bagian di Indonesia yang mendiami wilayah Halilulik juga tidak benar.

Penduduk subsuku etnik budaya lain selain etnik budaya Tetum di kampung Halilulik atau di kota dan desa dan kecamatan lainnya juga sudah disebut "asli" bersama-sama dengan etnik budaya Tetum atau etnik -etnisk lainnya di mana mereka tinggal. Dengan pertimbangan percampuran atau akulturasi antara etnik budaya atau subsuku ini maka istilah 'masyarakat lokal' untuk menyebut masyarakat NTT di daerah-daerah 'asal'-aslinya tidak lagi tepat dan benar.

Lalu bagaimana kita dapat menyebutkan istilah yang lebih maju dan tepat sebagai label budaya yang penuh nilai-nilai budaya yang kaya dan tinggi untuk masyarakat NTT-Indonesia modern kini, bila istilah 'budaya lokal' dan istilah 'masyarakat terisolir' sudah tidak tepat lagi?

Bila kata 'budaya lokal' atau 'masyarakat lokal' atau 'masyarakat terisolir' itu sudah tidak benar lagi untuk menyebut masyarakat NTT yang lama, maka istilah yang paling tepat ialah kata 'subbangsa' atau 'budaya etnik' atau 'suku bangsa' penduduk NTT. Dengan menggunakan istilah 'subbangsa'  atau 'budaya etnik' atau 'suku bangsa' maka ada penghargaan dan pengakuan terhadap 'kearifan budaya dalam kebudayaan tradisional suku-suku bangsa atau subbangsa'.

Kata 'kearifan' dalam 'kebudayaan tradisional suku-suku bangsa' menurut kajian Prof Dr Edi Sediawati dalam bukunya: Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2007, P.382-384), kearifan kebudayaan itu hendaknya juga dimengerti dalam arti luasnya yakni tidak hanya berupa norma-norma dan nilai-nilai budaya, melainkan juga segala unsur gagasan, termasuk yang berimplikasi pada teknologi, penaganan kesehatan dan estetika. Dengan pengertian tersebut maka yang termasuk penjabaran dari 'kearifan budaya' itu ialah di samping peribahasa dan segala ungkapan kebahasaan yang lain, adalah juga berbagai pola tindakan dan berbagai hasil material lainnya. Dalam arti yang luas 'kearifan budaya' Indonesia itu telah terjabar dalam seluruh warisan 'budaya etnik' atau 'subbangsa' yang bersangkutan baik yang tangible maupun yang intangible.

Mobilisasi budaya masyarakat NTT telah melewati periode yang panjang. Mula-mula mobilisasi dilakukan melalui pertemuan budaya orang NTT sendiri dengan kebudayaan Budha dan Hindu yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari kerajaan Majapahit dan kerajaan Sriwijaya. Kemudian oleh pedagang-pedagang kerajaan-kerajaan muslim dan seterusnya oleh bangsa Portugis, Belanda dan Inggris pada masa kolonialisme. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan oleh Ir Soekarno dan Drs Mohammad Hatta pada 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini daerah-daerah budaya dalam Propinsi NTT setiap hari telah mengalami mobilisasi yang sedemikian intens baik lewat udara, laut, darat maupun lewat mass media baik elektronik maupun cetak. Bahkan oleh kemajuan sistem komunikasi dan informasi saat ini, laju mobilisasi barang, orang dan jasa juga malahan semakin tinggi.

Mobilisasi mayarakat NTT menunjukkan bahwa jati diri bangsa Indonesia bukanlah sesuatu yang statis dan tetap. Olehnya ungkapan-ungkapan budaya subbangsa telah mengalami perubahan termasuk fungsi-fungsi dalam pranata kemasyarakatan. Perubahan itu dapat terjadi karena rangsangan atau tarikan dari luar dan dari ide-ide baru yang datang dari luar masyarakat subbangsa di NTT.

Prof Edi Sediawati seorang ahli ilmu budaya, filolog dan sejarawan menilai bahwa pada satu titik rangsangan atau tarikan dari budaya luar itu bisa amat besar tekanannya sehingga yng terjadi bukan saja pengayaan budaya melainkan justeru pencerabutan akar budaya untuk digantikan dengan isi budaya yang sama sekali baru dan tak terkait dengan aspek tradisi yang manapun. Kalau itu yang terjadi maka warisan budaya sudah tidak memiliki lagi kekuatan untuk membentuk jati diri bangsa. Situasi yang lunak terjadi apabila jati diri budaya lama berubah oleh pengambilalihan unsur-unsur budaya lain secara agak besar-besaran dalam peristiwa akulturasi, yang pada gilirannya membentuk sebuah sosok baru namun masih membawa serta warisan lama yang masih dapat berfungsi sebagai ciri identitas jati diri bangsa selanjutnya ( Edi Sediawati, P.383).

Agaknya akulturasi merupakan cara yang sering muncul dalam proses pembudayaan masyarakat subbangsa di NTT, Ada budaya lama yang ikut serta terbawa dalam proses penciptaan budaya baru yang akan dipakai sebagai jati diri bangsa. Proses akulturasi masih dikategorikan lunak. Namun akan berjalan perlahan-lahan menuju satu titik di mana bisa saja terjadi akan ada perubahan sangat fundamental dengan budaya baru sama sekali. Kekuatiran untuk itu memang selalu ada dan terus berlangsung dalam proses ini.

Bisa saja bahwa ada muatan politis dibalik penyebutan istilah 'masyarakat lokal' bagi penduduk NTT. Pengungkapan istilah 'masyarakat lokal' justeru banyak kali didengungkan lewat media pada zaman reformasi ini. Sedangkan masa Orba, istilah 'masyarakat lokal' jarang terdengar. Maka saya menarik kesimpulan bahwa istilah 'masyarakat lokal' yang dikenakan bagi masyarakat NTT mungkin saja salah satunya antara lain berhubungan dengan ambisi politik beberapa politikus daerah. Pada era reformasi ini, banyak jargon bermunculan berkenaan dengan Pemilukada. Jargon yang beredar sering berhaluan sangat ekstrim dan jauh dari nilai-nilai Pancasila. Contoh jargon yang melenceng itu ialah ungkapan seperti 'mementingkan putera daerah'.

Hal itu tercermin ketika muncul dalam proses testing CPNSD atau pembagian jabatan dalam birokrasi. Setiap kali hasil testing CPNSD atau pejabat dalam birokrasi diumumkan ke publik, selalu nama-nama yang muncul didominasi oleh mereka yang dianggap sebagai putera daerah. Hal seperti ini sudah jauh melenceng dari nilai-nilai Pancasila. Ungkapan 'mementingkan putera daerah' memang jauh dari ciri nasionalisme warga Indonesia. Malahan hal ungkapan seperti itu telah menunjukkan lunturnya nilai-nilai Pancasila sebagai pengikat bagi semua bangsa Indonesia.

Prof Dr HAAR Tilaar, seorang pakar pendidikan Indonesia menulis dalam bukunya Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia (Jakarta: Rineke Cipta, 2007; P.178) bahwa dalam era reformasi tampak ada 2 gejala dalam perkembangan identitas bangsa Indonesia. Gejala-gejala tersebut ialah: Pertama, melunturnya komitment bangsa Indonesia terhadap Pancasila, Kedua, desentarlisasi kebablasan yang mengarahkan kepada etnisitas sempit. Pengalaman pahit semasa Orba telah memerosotkan penghayatan Pancasila dalam era reformasi ini. Pancasila sebagai ideologi bangsa memang tetap dipertahankan, namun Pancasila sebagai pandangan hidup (way of life) telah ditinggalkan. UU tentang Otonomi Daerah telah itu ikut melahirkan primordialisme sempit. Ungkapan seperti mementingkan putera daerah menjadi sinyal primordialisme sempit itu.Dalam proses pengembangan identitas etnis, justeru faktor-faktor irasional dan subjektif lebih berbicara dibandingkan dengan motivasi luhur demi pengembangan identitas bangsa. Di dalam identitas etnis, peranan mitos lebih besar. Menurut Prof Tilaar, citra negatif tentang identitas bangsa ini hanya bisa diatasi melalui dialog dan komunikasi, misalnya melalui kongres baik nasional maupun internasional.

Bila sebutan 'masyarakat lokal' dilakukan sebagai sebuah jargon politik kedaerahan dari calon-calon pemimpin daerah demi meraup pengaruh dalam Pemilukada, maka calon pemimpin seperti itu sedang berada di jalan yang keliru dari semangat reformasi. Keberadaan pemimpin daerah yang meraih suara hanya karena jargon 'masyarakat lokal' yang salah ini telah membawanya kepada adanya spirit primordialisme yang sempit, sesuatu hal yang sangat melenceng jauh dari nilai-nilai Pancasila dan semangat mengindonesia identitas dan etnisitas bangsa Indonesia. Semoga lewat dialog dan komunikasi kita semakin disadarkan untuk kembali melaksanakan nilai-nilai Pancasila dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia serta mengikis habis primordialisme sempit.

_________________________________________________

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun