Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Guru profesional Bahasa Jerman di SMA Kristen Atambua dan SMA Suria Atambua, Kab. Belu, Prov. NTT. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hampir 8 tahun Lalu, Tragedi Montara di Cela Timor Akibatkan Pencemaran Laut Terbesar di Dunia

24 Januari 2017   21:23 Diperbarui: 25 Januari 2017   00:28 5769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hampir 8 tahun yang lalu, tepatnya 29 Agustus 2009, kilang minyak Montara di cela Timor meledak. Ledakan ini mengakibatkan tumpahan minyak ke lautan selama 74-75 hari non stop (Foto:Ist)

Dunia masih ingat hampir 8 tahun yang lalu tepatnya 29 Agustus 2009, Unit Pengeboran Atlas milik ladang minyak Montara meledak dan terbakar hebat. Tumpahan minyak mulai terjadi pada 29 Agustus 2009 dan berlangsung selama 74-75 hari berikutnya. Barulah pada 3 November 2009, kebocoran berhasil diatasi. Para pekerja berhasil dibebaskan pada saat insiden namun kerusakan baru bisa diperbaiki 74-75 hari berikutnya. Selama 74-75 hari, jutaan barrel minyak dan gas baku telah tumpah ke laut Indonesia, khususnya laut Timor. Saat itu ladang minyak Montara dikelola oleh PT TEP Australasia. Selama 74-75 hari minyak dan gas baku mengalir masuk ke perairan Indonesia khususnya laut Timor merusak segala ekosistem lautan dan merugikan para nelayan NTT. Akibatnya pencemaran laut terjadi secara besar-besaran. Sejak tahun 2009, perekonomian para petani rumput laut dan para nelayan NTT lumpuh total. Mayoritas para nelayan NTT akhirnya memilih pergi jauh ke arah perairan Sulawesi dan Kalimantan untuk mencari kawasan lautan yang bersih dari pencemaran minyak Montara.

Tahun lalu, bertepatan dengan peringatan tujuh tahunan tragedi tersebut kurang lebih 13.000 nelayan serta petani rumput laut yang berada di seluruh pesisir wilayah Nusa Tenggara Timur itu melakukan gugatan "class action" di Pengadilan Federal Sydney, Australia, dengan menuntut PT TEP Australasia atas tragedi tumpahan minyak tersebut. Tahun lalu pengadian federal Australia di Sidney mengadakan sidang clas aktion pertama. Negara Kangguru itupun dituntut untuk menganti rugi apa yang telah dilakukan oleh perusahaan minyak PT TEP Australasia, karena dalam perjalanan kasus tersebut perusahaan itu justru lepas tangan dan tidak ingin menganti rugi kerugian yang dialami oleh para petani rumput laut dari NTT tersebut. Ketika itu, pengacara Maurice Balacburn sendiri dalam gugatan tersebut menuntut pemerintah Australia harus mengganti kerugian yang dialami nelayan dan petani rumput laut NTT sebesar $200 juta. Hal ini dikarenakan dari hasil penyelidikan yang dilakukan oleh tim pengacara dari Australia tumpahan minyak itu merupakan kasus serius yang membahayakan kehidupan, lingkungan dan mata pencaharian ribuan nelayan dan petani rumput laut di daerah itu.

"Meledaknya kilang minyak Montara tidak saja mencemarkan perairan laut Indonesia tetapi juga zat timah hitam bercampur bubuk kimia dispersant jenis korexit 9500 dan 9572 yang sangat berbahaya pada kehidupan manusia dan ekosistem laut. Itu adalah pencemaran laut terbesar sepanjang sejarah dunia. laut Timor yang dahulunya bersahabat, tiba-tiba berubah menjadi ganas akibat ulah dan kesalahan manusia pengelola kilang minyak Montara", kata P. Dr Georg Neonbasu, SVD, antropolog dan dosen Unika Widya Mandira Kupang dalam suatu Seminar di Kupang.

Tragedi Montara akhirnya dikenal dengan sebutan Montara Timorsee Oil Spill Disaster. Jika dibandingkan dengan tumpahan minyak di laut Alaska, AS tahun 1989 dan tumpahan minyak di teluk Mexico tahun 2010, tumpahan minyak Montara telah mencemari laut seluas 90.000 M2 dan merupakan pencemaran laut terbesar di dunia dalam sejarah pencemaran laut oleh minyak yang pernah ada di muka bumi ini. Petaka Alaska meskipun tidak sedasyat Motara, namun cepat ditangani oleh pemerintah AS, setelah 25 tahunpun masih tetap diperhatikan oleh pemerintah AS.

Di tahun 2014, tak kurang Presiden AS, Barack Obama mengutus seorang senator AS untuk berbagi sharing pengalaman dalam suatu Seminar internasional pada 18 Februari 2014 lalu di kampus Undana Kupang-NTT. Seminar internasional bertajuk "Tragedi Kemanusiaan dan Ekologi Lingkungan Akibat Meledaknya Kilang Minyak Montara di Laut Timor 2009" dilaksanakan di kampus Universitas Nusa Cendana Kupang-NTT. Senator dan Ilmuwan  Dr Robert B Spies, seorang ahli perminyakan dari Universitas California, AS dan senator Australia Racher Siewert dari Parliement Hause of Canberra, mengatakan tragedi Montara ialah tragedi kemanusiaan. Dr Spies mengatakan bahwa kasus Alaska menunjukkan refleks yang tinggi dari pemerintah AS dalam menangani masalah. Saat itu Spies menegaskan bahwa pemerintah AS lebih memilih mengabdi kepada nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki penduduk sepanjang daerah yang tercemar lautan untuk jangka pendek, menengah dan jangka panjang. 

Menurut Senator Spies saat itu, dalam kasus Montara, selain rakyat yang menjadi korban juga pemerintah Indonesia karena kasus ini mengakibatkan pencemoohan di mana-mana. Kasus Montara tidak ditanggapi secara serius oleh pemerintah hingga kini dan malahan pemerintah agak mulai melupakan kasus Montara. Ketua YPTB, Ferdy Tanoni pernah mengatakan, pemerintah Federal Australia harus juga ikut bertanggung jawab atas kasus pencemaran ini, karena beberapa bukti menunjukkan untuk menutup tumpahan minyak tersebut pemerintah Australia berusaha menyemprotkan "dispersant" yang dapat merusak ekologi laut dan menghancurkan rumah-rumah ikan untuk bertelur, sehingga ikut memicu kehancuran biota laut lainnya.  "Australia tidak bisa lepas tangan dari kasus ini, karena sejumlah saksi mata melihat pesawat Australia terbang rendah di atas laut Timor sambil menyemprotkan cairan kimia di atas gumpalan minyak tersebut," tutur Ferdi kepada berbagai media pada medio tahun lalu.

Ada dugaan berdasarkan hasil foto satelit diketahui, pesawat-pesawat yang memuntahkan cairan di atas Laut Timor itu, milik Badan Otoritas Keselamatan Maritim (AMSA), sehingga dari bukti-bukti tersebut pernyataan ganti rugi dari Federal Australia harus segera dilaksanakan. Berbagai cara telah dilakukan oleh YPTB menuntut agar adanya ganti rugi dari pemerintah Australia yang besarannya mencapai $ 200 juta dolar AS dengan harapan bisa segera diwujudkan, mengingat nelayan dan petani rumput laut di NTT masih merugi dengan kasus Montara itu.

Menurut Ferdi Tanoni seperti dikutip berbagai media tahun 2016 yang lalu, pemerintah Indonesia bisa melakukan penekanan-penekanan terhadap PT TEP Australasia yang mengelola kilang minyak Montara tersebut, karena memiliki aset hampir mencapai 3,5 miliar dolar AS dari sejumlah kilang minyak yang beroperasi di Indonesia. Langkah tegas yang perlu diambil Jakarta adalah dengan mencabut izin operasional PT TEP Australasia di Indonesia serta mendesak Australia untuk duduk bersama melakukan perundingan dalam upaya mengakhiri kasus pencemaran yang sudah berjalan tujuh tahun ini. Jika Australia tidak mengambil pusing dengan ajakan perundingan tersebut maka langkah berikutnya adalah membatalkan Perjanjian 1997 antara kedua negara di Laut Timor karena sampai sejauh ini belum diratifikasi oleh parlemen kedua negara, baik Australia maupun Indonesia.

Kepustakaan:

Satu

Dua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun