Suatu ketika pada tepi jalan raya Terminal Wekabu-Belu-NTT, saya menyaksikan dari atas kendaraanku, ada seorang wanita muda dan seorang tukang ojek sedang bertengkar. Rupanya penumpang wanita itu protes karena dia merasa tukang ojek itu menuntut harga lebih tinggi dari biasanya. Si penumpang berasal dari Kefemenanu. Dia memakai jasa Ojek. Tiba di Teriminal Wekabu, pengojek itu minta Rp 100 ribu.
Dengan suara tegas dan keras, pengojek bersikukuh meminta bayaran Rp 100 ribu, sementara di pihak lain, penumpang wanita itu memprotes sebab biasanya Rp 50 ribu saja. Namun dengan nada si pengojek yang semakin keras dengan gertakan tinggi, wanita penumpang itu tampaknya mengalah kepada gertakan si pengojek, si penumpang rupanya kalah gertak. Dia akhirnya harus membayar Rp 100 ribu kepada si pengojek. Ya, mau bilang apa, situasi pasar dimonopoli oleh situasi kejiwaan orang yang menang gertak. Orang yang kalah gertak, dia rugi. Orang yang menang gertak sering beruntung dan sejahtera.
Menurut KBBI Daring, kata gertak berarti: suara keras (dengan entakan kaki, ancaman, dsb) untuk menakut-nakuti. Kata menggertak berarti menakut-nakuti dengan suara keras (dengan ancaman), sesuatu yang dipakai untuk membuat berani.
Akhir dari gertakan itu bisa menimbulkan 2 pihak/sisi, yakni pihak orang yang menang gertak dan pihak orang yang kalah gertak. Orang yang menang gertak, menikmati kesejahteraan, sedangkan orang yang kalah gertak menderita rugi.
Seringkali kehidupan ekonomi memang tergantung kepada soal, apakah orang menang gertak dan meyakinkan ataukah tidak? Apakah orang (penjual/pembeli) mampu mengambil hati orang ataukah tidak? Keadaan ini terjadi di pasar-pasar atau pada sarana transportasi yang luput dari kontrol pemerintah, misalnya pada tukang ojek tadi dengan penumpangnya.
Maraknya tukang ojek yang luput dari perhatian pemerintah atau peraturan daerah, sering membuat pengojek hidup dari hasil dan kemampuannya "menggertak" penumpangnya agar membayar sesuai dengan kemauannya meskipun tidak lazim. Mau apa lagi, hidup memang sering keras, tidak selalu lembut. Kalah gertak atau kalah mata berarti anda kalah uang!
Hal itu sering terjadi dalam Perusahaan-Perusahaan baik swasta maupun pemerintah. Para pemilik perusahaan atau kepala perusahaan memiliki kemampuan untuk menang gertak, sehingga banyak pekerjanya merupakan orang-orang kalah gertak, sering harus tunduk kepada aturan perusahaan yang membayar pekerja di bawah upah minimum. Dalam kantor atau perusahaan baik negeri maupun swasta, sering kepala-nya mempekerjakan banyak Satpam, demi memuluskan sikapnya untuk menang gertak agar banyak pekerja taat kepada peraturan "tidak adil" institusi yang dia pimpin. Tentu ini sangat disayangkan!
Dengan kemampuan menang gertak dari pihak Perusahaan, banyak pekerja akhirnya menjadi tak berdaya karena mereka dalam posisi kalah gertak, dengan itu mereka amat menderita karena mental mereka sendiri. Ini sangat disayangkan. Terdapat begitu banyak tenaga honorer atau tenaga outsourcing yang bekerja di bawah upah yang layak karena mereka kalah gertak.
Orang yang kalah gertak akan menderita secara ekonomis dan politik bahkan budaya, akhirnya berimbas pada kerugian atau kalah uang, kalah harga diri. Kalau pemimpin atau perusahaannya makin matang, semestinya ada pertimbangan lain dalam soal pemberian upah, misalnya pertimbangan tingkat pendidikan, keuntungan, kinerja, tingkat produksi juga pertimbangan prestasi dalam pembayaran gaji.
Kalau semua pemimpin dan pemilik perusahaan baik swasta maupun pemerintah mengendalikan perusahaan atau negara dengan sistem menang gertak, maka apa jadinya negari ini?
Mungkin negara akan kehilangan cinta kasih dan kekeluargaan. Mungkin akan ada lagi tangan-tangan besi baru. Mungkin hukum rimba bisa saja akan terjadi di negeri ini. Mungkin akan ada diktator-diktator baru yang lebih rumit. Semoga hal seperti ini tidak ada lagi di Indonesia. Indonesia didirikan di atas dasar Pancasila yang di dalamnya ada nilai Ketuhanan, musyawarah, keadilan sosial, kemanusiaan, persatuan, kekeluargaan, gotong royong dan cinta kasih.