Patut diakui bahwa salah satu sisi gemilang saat integrasi Timor Timur dengan Indonesia ialah bertumbuh suburnya karya cipta lagu-lagu pop daerah asal Timor-Timur. Selain itu intensitas barang dan jasa mengalir lancar di kawasan eks Timor-Timur, membuat sebagian penduduk di kawasan Indonesia lainnya perlu merasa cemburu.
Saat itu, nama penyanyi lagu pop daerah seperti Tony Pareira, dll tampaknya merajai industri lagu-lagu pop berbahasa Timor di pasaran Kaset. Oleh karena industri rekaman di Dili saat itu kurang nyaman, maka para pengusaha industri music pop daerah mengalihkan berbagai produksi rekaman industri musik pop daerah di kawasan Indonesia lainnya utamanya NTT. Para penyanyi berasal dari Timor-Timur namun industri musiknya di propinsi tetangga.
Di daerah-daerah Indonesia lainnya, ijin industri dan ijin peredaran Kaset dengan hak-hak cipta intelektualnya sangat diperhatikan, ini berbeda dengan suasana Timor-Timur ketika itu, bahkan hingga saat inipun suasana bagi aktivitas karya cipta di Timorleste kurang diperhatikan secara baik, menyebabkan music dan industri hiburan di sana tampaknya bukan surga bagi para abdi seni.
Di Indonesia, sudah sejak lama lagu-lagu ciptaan para penyanyi pop dan komponis pop eks Timor-Timur paling laris di kawasan Timor Barat di mana hampir semua penduduknya paham bahasa tetun. Kaset-kaset yang berisi lagu pop Timor-Timur beredar luas, seiiring dengan tingginya minat orang untuk menikmati suara merdu khas eks Timor-Timur. Pasca kemerdekaan Timorleste, ternyata sebagian penduduk eks Timor-Timur masih bertahan di bagian barat Timor, masih terus mencipta satu dua lagu pop, yang meskipun tampaknya mulai kalah bersaing dengan para komponis dan para penyanyi pop daerah dari wilayah Timor barat sendiri.
Menyangkut hak-hak cipta atas lagu-lagu pop yang dimiliki oleh para penyanyi dan komponis lagu pop daerah Timor-Timur, agaknya tak mudah ditinggalkan begitu saja. Mayoritas komponis dan penyanyi yang saat ini hijrah menjadi warga Timorleste ikut meninggalkan hak-hak atas karya cipta lagu-lagu yang dinyanyikannya, yang telah didaftarkan dalam masa integrasi, tak bisa dialihkan ke Timorleste begitu saja, terpaksa ditinggalkan di Indonesia. Sesuai UU, lamanya pemegang cipta mengklaim haknya bisa mencapai puluhan tahun setelah ijin resmi diberikan. Sementara itu, realitas yang terjadi dalam sebuah negara baru, yakni bahwa orang harus bekerja keras mulai dari nol dalam segala hal termasuk untuk menciptakan lagi lagu-lagu dengan tampilan up date, sesuai warna dan kehidupan saat itu. Saya dengar bahwa para abdi seni di sana kurang berkembang dengan baik karena sistem pemerintahan kurang mendukung. Pemerintah Timorleste tampaknya tak terlalu mengurusinya, melainkan sibuk dengan berbagai urusan yang bukan menyangkut soal perlindungan atas karya cipta orang Timorleste.
Herannya ini semua menyebabkan Australia sangat berperan di Timorleste saat ini. Sedari awal orang Australia paling sadar akan situasi orang Timorleste dari pada orang Timorleste sendiri. Kiblat ke Australia menyebabkan bahasa Inggris di Timorleste menjadi bahasa resmi negara untuk relasi internasional, termasuk dalam hal Media. Pengaruh Australia yang besar menyebabkan ada kekuatiran bahwa negeri itu bisa-bisa didikte dari luar. Padahal di kawasan Timor Barat, selama perang dunia II, orang-orang Australia telah dikalahkan tentara Jepang dalam perang gerilya. Orang-orang Australia memanfaatkan orang asli Timorleste, tanpa sadar berkedok ingin mau menjadi penguasa juga di sana secara tak langsung.
Pemerintahan Timorleste saat ini boleh dikatakan dinilai masih kurang bagus dengan tanpa memiliki pengalaman memerintah di bidang sipilpun, ini membuat pemerintah Timorleste tampaknya tak akan perdulikan yang namanya hak-hak bagi karya cipta, lebih pentingkan kekuatan Fretelin yang mengandalkan pertahanan gerilya.
Selama 23 tahun berada di atas gunung dan hutan, baik Xanana Gusmao maupun Taur Matan Ruak hanya punya pengalaman perang gerilya namun tak punya pengetahuan banyak tentang perlindungan hak-hak cipta intelektual baik seni-budaya maupun karya tulis bagi orang Timorleste. Sungguh ironi memang. Membayangkan itu semua kita dapat pastikan bahwa suasana di kawasan Timorleste saat ini bagaikan kawasan paling sunyi di dunia. Dengan itu, memasuki daerah Timorleste saat ini bagaikan memasuki kawasan paling sunyi tanpa hingar bingar musik seperti dahulu, selama masa integrasi.
Saat ini, pemerintah Timorleste tampaknya sibuk membangun secara fisik, tampaknya puas dengan demokrasinya namun belum menemukan kekhasan nasionalismenya bahkan terus saja sibuk melakukan rekonstruksi nasional, sebuah tindakan kurang jenius, padahal selama 23 tahun integrasi, Timor-Timur sudah terkonstruksi dengan sangat baik sebagai kawasan yang senasib dan "sedarah daging" dengan Indonesia, misalnya konstruksi nasional rakyat Maubereisme, ternyata sama dengan konstruksi nasional Marhaenisme, pertanyaannya: Kalau sama dan senasib dan sedarah daging, mengapa musti perlu berpisah?
Bukankah lebih baik, kalau dahulu, misalnya melakukan rekonstruksi nasional dengan menampilkan dan mengajak tokoh-tokoh seperti Ramos Horta, Xanana Gusmao dan Taur Matan Ruak turun gunung dan mereka diberikan kesempatan memerintah sebagai Gubernur Daerah Otonomi penuh, seperti yang sekarang ini dilakukan untuk para tokoh GAM di DI Aceh seperti Dr Zaini Abdullah? Dengan itu banyak anggaran bisa digunakan untuk kepentingan pendidikan dan pembangunan untuk rakyat, bukan terbuang untuk melakukan lobi-lobi internasional seperti yang terjadi saat ini yang tampaknya tidak banyak memberikan kontribusi untuk pembangunan pendidikan, ekonomi dan politik bagi rakyat, tapi hanya menguntungkan elit-elit Dili saja. Ironi memang, tapi untuk orang Timorleste, semuanya memang perlu terjadi sesuai garis tangan mereka sendiri.
____________________________