Lelaki tua dari suku Tetum Naitimu itu bernama Katuas Leki. Dia adalah seorang penjaga rumah adat Asulaho di kampung Nanaerai, desa Naitimu di Provinsi NTT. Saya bertemu dengan dia pada suatu ketika untuk sebuah acara adat tradisi Kasu isin menurut adat Tetum.
Saat itu saya baru saja selamat dari kecelakaan besar sepeda motor, sekitar tahun 2010. Dia akan membuat ritus Kasu isin dan memohon perlindungan luluhur untuk saya.
Kali pertama saya meminta kesediaannya membuat ritual adat itu, dia menolak. Belum tiba saatnya, katanya kepada saya. Acara adat tetum itu dibuat saat Fulan mosu.Â
Fulan mosu adalah Bulan baru. Pada saat itu, seorang tua adat dibolehkan untuk membuat ritual adat Kasu isin. Sayapun pulang ke rumah.
Ketika tepat Bulan baru tiba, saya pergi sekali lagi ke rumahnya. Tanpa keberatan, dia langsung membuat ritual Kasu isin dengan sebilah kelewang terhunus dan pelbagai bahan adat di sebuah sungai kecil di dalam kampung tertua di Naitimu itu.
Peristiwa tahun 2010 itu,  saya masih kenang baik. Saya menganalisis, ternyata ritus tetum tidak dilakukan tanpa perhitungan pergerakan Bulan di langit.
Katuas Leki hanya dapat membuat ritual Tetum pada saat Fulan mosu atau saat Bulan baru. Dia mengambil sumber kekuatan dari Bulan baru untuk memimpin ritual adat tetum.
Peradaban ritualnya dibimbing oleh pergerakan Bulan. Katuas Leki selama bertahun-tahun membangun dialektikanya sendiri berdasarkan pergerakan Bulan di langit.Â
Bulan adalah benda langit yang berjarak sangat jauh, tetapi Bulan mempengaruhi komunikasi ritual tetum. Dialetika ini telah dipertahankan selama berabad-abad di tanah tetum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H