Hari ini 9 September 2024, Sri Paus Fransiskus resmi mendarat di Timor Leste. Kunjungan Bapa Suci berlangsung sampai 11 September 2024.Â
Kunjungan Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi gereja katolik sedunia, telah mengingatkan orang Indonesia dan orang Timor Leste  kejadian 35 tahun lalu ketika Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Provinsi Timor-Timur yang saat itu sebagai provinsi ke-27 dari Indonesia.
Peristiwa 35 tahun lalu masih ada di memori arsip sejarah Indonesia. Tentu peristiwa besar itu tak bisa dilupakan. Faktanya memang benar bahwa Timor-Timur saat itu adalah bagian dari sejarah Indonesia dan juga sejarah negara Timor Leste.
Tidak melupakan. Ketika kita abaikan sebuah peristiwa penting sejarah, orang bisa saja atau mungkin membuat fakta baru dari penemuan baru. Bagi orang Timor, pendirian negara Timor Leste saja sudah cukup menyelamatkan kehormatan warga asli yang berjuang demi hak-hak hidup dan hak penentuan nasib sendiri.
Tentu saja isu utama Timor Leste saat ini, termasuk tuntutan terhadap Sri Paus Fransiskus untuk bicara tentang perdamaian terasa tidak relevan dengan situasi seperti tahun 1999 lalu.Â
Gagasan tentang perdamaian yang ada saat ini masih menyisahkan ingatan sejarah terhadap penderitaan masa lalu. Uskup Bello dan Ramos Horta menyuarakan tentang perdamaian saat itu dan seruan mereka diterima, sesuai konteks perjuangan perdamaian saat itu.
Kalau perdamaian itu utuh dituntut dari Indonesia, Timor Leste mungkin seharusnya tidak menonjolkan peran Fretelin di politik pemerintahannya.Â
Fretelin adalah unit tentara perlawanan bersenjata yang nyata di masa lalu. Fretelin memutuskan untuk melawan tentara Indonesia dengan senjata.
Darah, nyawa dan air mata berjatuhan, TMP menjadi saksi adanya pahlawan integrasi. Sedangkan di pihak Fretelin, korban nyawa serdadu-serdadu Fretelin diapresiasi oleh Timor Leste saat ini sebagai pahlawan kemerdekaan.
Kerusuhan maut pasca jajak pendapat 1999 menjadi buah bibir sampai saat ini. Hal itu rupanya tidak diterima dengan baik oleh berbagai komunitas global tetapi para pelakunya dilindungi secara diplomatik oleh Jakarta dan Canberra.