Baru-baru ini, Antiqua dan Berbuda, salah satu negara kecil memprotes ke PBB, karena negara-negara maju ingkar janji terhadap dana adabtasi pelindungan lingkungan untuk negara-negara berkembang. Pengalaman ini menyadarkan kita bahwa kita jangan mudah percaya adanya janji dana adabtasi dari negara-negara maju.
Masalahnya hingga hari ini banyak negara berkembang belum bisa meyakinkan negara-negara maju terhadap kerusakan lingkungan hidup akibat pemanasan global. Cara paling tepat adalah kita harus memfokuskan perhatian pada kehidupan sehari-hari dengan meningkatkan sistem pemerintahan yang baik  dan berkomitmen tinggi untuk perbaikan lingkungan hidup. Masalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) harus dihilangkan agar muncul kepercayaan global.Â
Lord Giddens mengatakan bahwa sulitnya meyakinkan negara-negara industri tentang dampak perubahan iklim dunia yang nyata karena politik perubahan iklim global agaknya belum masuk arus utama.
Menurut Lord Giddens, politik perubahan iklim di negara-negara industri ialah bahwa kita harus membawa isu perubahan iklim ke dalam arus utama. Karena banyak penduduk negara-negara industri besar tidak pernah menyentuh kehidupan sehari-hari. Padahal perubahan gaya hidup dalam kehidupan sehari-hari sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim dunia.Â
Pemerintah Indonesia telah menginventrisasi daerah-daerah terdampak cuaca ekstrem akibat pemanasan global. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 mengatakan terdapat 42 juta penduduk Indonesia  hidup di daerah terdampak perubahan iklim seperti kenaikan air laut, ancaman gelombang ekstrim dan banjir rob. Dari jumlah 42 juta penduduk itu kebanyakan terdapat di bagian barat Indonesia, tinggal 10 meter di atas permukan laut.Â
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyimpulkan bahwa dampak perubahan iklim mengubah morfologi pantai, merendam pulau-pulau kecil, dan mencemari sumber air tawar. Data-data Satelit LAPAN menyebutkan bahwa Pulau Nipa, Pulau Anak Krakatau, Pulau Kalinambang, Pulau Anak Ladang dan Pulau Karakitang telah kehilangan wilayahnya karena terdampak kenaikan permukaan air laut.Â
BNPB (2020) juga mencatat selama tahun 2016-2018, 1.685 desa tepi laut terkena gelombang pasang. Ilmuwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperkirakan adanya kenaikan permukaan air laut di wilayah barat Indonesia setinggi 3.10-9.27 mm per tahun. Lebih lanjut, berdasarkan laporan BPS (2020), cuaca ekstrim, dan gelombang laut menghantam kehidupan nelayan tangkap dan berdampak pada masyarakat yang tinggal di pesisir.
PBB memperkirakan terdapat 4 miliar umat manusia tinggal di daerah yang paling rentan menderita akibat perubahan iklim global. Mereka menderita akibat kerusakan alam. Sekarang saja peningkatan pemanasan global adalah 1,1 derajat Celcius, masih menyisiahkan 0,4 derajat menjadi batas normal 1,5 derajat sesuai perjanjian Paris.
Jadi, kenaikan suhu bumi tahunan sudah mendekati batas suhu normal akibat pemanasan. Krisis kemanusiaan akan terjadi akibat kenaikan suhu bumi tahunan melampaui batas kenaikan suhu normal tahunan. Pada kondisi 1,1 derajat Celcius saja, sudah ada 4 miliar umat manusia rentan terhadap perubahan atau kerusakan akibat kenaikan suhu bumi tahunan.
PBB telah menyerukan adanya dana adabtasi yang disediakan oleh negara-negara industry bagi negara-negara berkembang yang penduduknya rentan terhadap pemanasan global. Dana adabtasi PBB akan diperuntukan bagi ketahanan pangan dan pertanian, air dan alam, pemukiman manusia, lautan, dan kota. Kecanduan dunia terhadap minyak, gas dan batu bara telah merusak lingkungan hidup, menyebabkan naiknya suhu permukaan Bumi mendekat batas normal.
Musim kemarau yang ekstrem sepanjang Juli hingga September menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap kondisi kita, yaitu: menenggelamkan permukaan sungai ke titik terendah dalam sejarah, dan meningkatkan curah hujan hingga titik tertinggi yang menghancurkan. Kekeringan memicu kebakaran hutan dan memperburuk kerawanan pangan.