Konflik yang amat menyedihkan! Itulah gambaran yang paling tepat apabila generasi muda dari 2 negara mempelajari kembali sejarah konflik antara TNI dan Falintil selama tahun-tahun pendudukan. Dalam sejarah meskipun terjadi berbagai pertempuran antara Falintil dan satuan-satuan militer Indonesia tak pernah tertulis adanya gencatan senjata dan Perjanjian Damai antara RI-Falintil. Kalau kita membayangkan berdasarkan ketiadaan dokumen-dokumen Perjanjian Damai: situasi konflik benar-benar menyudutkan Falintil. Falintil ialah pihak yang benar-benar tidak terlalu digubris meskipun terus melakukan perlawanan bersenjata di hutan-hutan.Â
Selama operasi Seroja dan sesudahnya, berapa banyak upaya damai pemerintah RI-Fretelin (Falintil) untuk melakukan perjanjian damai dan gencatan senjata? Saya kira, mungkin tidak pernah ada dalam sejarah yang namanya gencatan senjata dan perjanjian damai antara RI-Fretelin. Memang guratan nasibnya Timor bagian Timur itu seperti sudah diramalkan untuk terjadi seperti saat ini. Benar-benar penyelesaian yang benar-benar belum sempurna..
Pada 27 Januari 1999, Presiden RI B.J. Habibie mengeluarkan 2 opsi bagi rakyat Timor-Timur. Saat 2 opsi itu dikeluarkan status Fretelin masih  dalam posisi di hutan untuk melakukan perang gerilya melawan pasukan pendudukan Indonesia. Opsi itu dikeluarkan terpaksa untuk mengindari bencana diplomasi dan kesulitan Indonesia pasca runtuhnya rezim Soeharto. Propinsi-propinsi terancam terpisah, Indonesia terancam usai seperti Yugoslavia.
Tetapi dari Propinsi-Propinsi di Indonesia, Timor-Timur boleh dikatakan yang paling siap berpisah. Â Pejuang-pejuang Falintil di hutan-hutan masih tetap berada pada posisi melawan, demikianpun pejuang-pejuang diplomasi internasional di luar negeri seperti Ramos Horta. Semua mereka masih giat berjuang dan menyuarakan perdamaian dan penyelesaian akhir konflik.
Sebagai pejuang kemerdekaan, Fretelin jelas terintegrasi dengan pro kemerdekaan. Saat itu berbicara tentang pro kemerdekaan ialah berbicara tentang Falintil pimpinan Xanana Gusmao. Satu hal yang dilupakan TNI dan pemerintah ialah pemerintah tidak lagi mengurusi status Falintil menjelang Referendum: apakah Falintil dalam status gencatan senjata ataukah bersiap untuk berdamai dengan Indonesia, pasca BJ Habibie mengumumkan Referendum di Timor-Timur?
Kesalahan cukup fatal bagi TNI yang sedang menghadapi para pejuang haluan kiri yang amat keras yakni tidak bisa berkompromi untuk damai dan membicarakan nasib masa depan. Hal yang belum ada dalam dunia perjuangan. Padahal saat  Indonesia berperang melawan Belanda dalam 5 tahun perang kemerdekaan itu masih ada berbagai gencatan senjata dan Perjanjian Damai, misalnya: Perjanjian Linggarjati, Roem-Royen, Renville dan KMB
Sementara itu pihak Falintil menunggu status dan peran mereka bila dalam Referendum pihak otonomi dinyatakan menang. Hal itu mengkuatirkan bukan saja pihak Falintil namun juga Australia dan dunia. Apa yang terjadi setelah pengumuman Referendum ialah masing-masing pihak bersaing untuk menang dalam Referendum: pro kemerdekaan atau otonomi, namun lupa status Falintil yang selama 23 tahun berperang dengan Indonesia dari hutan-hutan Timor-Timur. Ia bisa saja tetap musuh bagi TNI. Mestinya Falintil harus punya komitment untuk berdamai bila status perdamaian itu jelas bagi mereka. Situasi ini, bagi Falintil terasa begitu khaos.
Pertanyaan mereka ialah bila otonomi menang dalam Referendum, akan bagaimanakah nasib Falintil, Xanana Gusmao, Ramos Horta, Taur Matan Ruak, dll. Apakah nanti mereka tetap berjuang di hutan-hutan pasca Referendum yang bila dimenangkan pihak Otonomi? Apakah mereka tetap menjadi orang-orang yang disingkirkan dan dianggap sebagai pemberontak?
Saat pimpinan Xanana Gusmao ditangkap TNI, lalu dipenjarakan di Cipinang telah ada harapan besar bagi Falintil yakni bahwa mereka siap melakukan perjanjian damai, siap bernegosiasi. Tetapi yang terjadi ialah Xanana dibebaskan dan dia tidak memiliki Dokumen Perjanjian Damai apapun dengan Indonesia. Ia malahan diadili dan dipenjarakan sebagai penjahat bagi Indonesia. Begitu bebas dari penjara, dia pulang kembali ke Posnya Falintil untuk membangun Falintil dan siap bertarung dalam Referendum.
Salah satu kekeliruan militer Indonesia ialah lupa melakukan Perjanjian Damai dengan Fretelin/Falintil untuk memberikan Falintil harapan untuk memerintah juga apabila kelompok pro kemerdekaan kalah saat Referendum. Militer Indonesia dan pemerintah BJ Habibie lupa melakukan perjanjian damai dengan Fretelin/Falintil  sebelum dilaksanakan Referendum. Padahal status perjuangan Falintil saat itu telah diakui oleh dunia. Jadi status Falintil tetap tidak berubah. Falintil adalah pejuang kemedekaan Timor-Timur. Sehingga saat pro kemerdekaan diberikan kesempatan ikut Referendum, maka Falintil ialah ujung tombak bagi pihak pro kemerdekaan yang harus bersaing dengan pihak pro-otonomi.