Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Alumnus Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Tahun 2008 dan suka Trading. (1). Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat", (2). A Winner of Class Miting Content Competition for Teachers Period July-September 2022. (3). The 3rd Winner of Expat. Roasters Giveaway 2024. Hubungi: 081337701262.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Balik Pencitraan untuk Ibu

23 Desember 2016   16:06 Diperbarui: 24 Desember 2016   03:26 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu juga adalah manusia biasa. Jadi ibu tak melepaskan diri dari kelemahan dan keterbatasan. Kisah kebaikan ibu bisa-bisa terredusir bila kedudukan ibu dilihat sebagai sebuah peran politik di mana kedudukan sebagai ibu dianggap merupakan sebuah kedudukan politik, bukan kedudukan  kodrati semata-mata. Kedudukan ibu memang kompleks. Dengan begitu, ibu melahirkan karena politik. Dia mengasuh, membesarkan dan mendidik anak-anak karena perannya sebagai 'politikus' keluarga. Di balik kisah kebaikan hidup bersama ibu, terselip kisah pilu tentang ibu dalam sejarah Nazi Jerman. Secara kodrati ibu memang melahirkan anak-(anak), mengasuh, menyusui, membesarkan dan bahkan mendidik. Ibu-ibu Jerman pernah terkena kampanye NAZI. Mereka hanya ingin melahirkan ras bangsa Jerman. 

Pernah ibu-ibu Jerman dianjurkan untuk tak boleh melahirkan ras bangsa lain. Media Online DW.de pada 10 Mei 2015 pernah  menulis bahwa dalam sejarahnya, Nazi pernah memanfaatkan hari Ibu sebagai ajang kampanye meminta dukungan. Saat itu "Rejim Nazi membagi-bagikan "bintang jasa ibu" kepada wanita-wanita yang dianggap berjasa melahirkan dan mengasuh anak-anak ras Jerman yang akan menjadi pembangun bangsanya. Sekitar lima juta bintang jasa dibagikan Nazi kepada kaum ibu disertai rangkaian acara pawai dan parade meriah", tulis Media DW.de Online.

 Alhasil kampanye rezim Nazi berakibat dukungan penuh kaum ibu dan rakyat Jerman untuk perang demi keunggulan ras Jerman di Eropa. Wehrmacht kemudian menginvasi Eropa yang menjadi salah satu faktor penyebabnya perang dunia II. Saya membayangkan betapa kejinya kalau ibu-ibu dimasukkan fanatisme kepentingan idiologi politik bangsa demi nasionalisme yang kemudian hari dalam PD II menyebabkan peristiwa pertumpahan darah terbesar sepanjang sejarah antara Jerman dengan negara-negara Eropa lainnya terutama Rusia. Singkatnya penguasa negara memanfaatkan ibu-ibu untuk menyukseskan kepentingan politiknya. Lihat saja, kalau ibu-ibu berkumpul, yang mereka bicarakan ialah kekurangan-kekurangan para lawan politik suami-nya. Begitulah kalau peran sebagai ibu-ibu dipandang sebagai kekuatan politik.

Dalam sebuah negara modern biasanya peran ibu semakin maju. Ia bukan lagi sebagai orang kedua dalam keluarga. Peran ibu bagi bangsa sangat penting. Bisa jadi tanpa kehadiran  ibu bangsa bisa-bisa akan bubar. Peribahasa mengatakan kasih ibu sepanjang masa, tak terhingga sepanjang zaman, hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menyinari dunia. 

Tidak sebenarnya mutlak benar peribahasa itu. Soalnya banyak kali dalam dunia modern ini, peran ibu-ibu akan teredusir oleh persoalan kepentingan idiologi, politik, ekonomi dan sosial budaya. Tak sedikit kita membaca dan menyaksikan di media-media, ribuan atau bahkan jutaan bayi-bayi tak bersalah digugurkan oleh ibu-ibu yang kejam melalui aborsi. Jutaan bayi-bayi kecil itu hancur akibat aborsi dan dikuburkan secara diam-diam di berbagai tempat maupun di klinik-klinik aborsi di kota-kota besar, kota-kota kecil, desa-desa bahkan kota metropolitan.  

Jadi problem aborsi dan politisasi ibu-ibu ialah hal-hal yang membuat umat manusia menggugat ibu-ibu di hari ibu sedunia ini. Kita ucapkan selamat bagi ibu-ibu yang baik, namun kita mengecam aborsi yang dilakukan oleh kaum wanita dan politisasi ibu-ibu demi mengekalkan idiologi kekerasan. Selamat hari ibu dan profisiat bagi ibu-ibu teladan..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun