Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Alumnus Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Tahun 2008. (1). Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat", (2). A Winner of Content Competition of Class Miting for Teachers Period Juli-September 2022. (3). Runner up 2 atau The 3rd Winner of Expat.Roasters Giveaway 2024.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tanah Halehebing, Moke dan Gunung Egon

8 Agustus 2016   08:11 Diperbarui: 8 Agustus 2016   14:46 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Memulai perjalanan dengan Feri dari Kupang ke Maumere, tanah Sikka, tanah tempat leluhur dari ayah pada 12 Juli 2016, perjalanan kali ini saya ditemani keluarga: mama, saudari, paman dan Even, keponakanku. Empat hari setelah Gubernur NTT meresmikan jalur Feri Kupang-Geliting, kami memulai pelayaran dengan Feri pada jalur itu. Sebelum ke Geliting, Fery sempat singgah di Waibalun dan Pelabuhan Adonara. 

     Perjalanan dari Waibalun menuju Geliting benar-benar menyajikan nuansa baru. Feri melewati deretan pulau-pulau seperti Solor, Adonara dan Lembata yang menyajikan pesona alam yang menawan. Pada jam 16.00 Wita Feri akan melintasi bagian terujung pulau Flores, melintasi dengan jarak yang cukup jauh sebelum berbelok dan menukik tajam pada arah pelabuhan Geliting. Jam 02, 00 Wita, feri mendarat di pelabuhan feri baru yakni pelabuhan Geliting. Kami telah tiba di Maumere. Pak Ignasius, suami dari sepupuku siap dengan mobilnya di pinggir pantai, dia menjemput kami.

     Keesokan harinya, kami dijemput oleh sepupu saya dengan mobil pick upnya menuju kampung halaman ayah di Halehebing. Perjalanan menuju kampung menyajikan pemandangan hutan-hutan tropis di kaki gunung egon. Di sana-sini terlihat bekas erupsi gunung egon. Malahan saat kunjunganku itu gunung egon masih dalam tahap siaga 2. Pada jarak yang cukup dekat dengan gunung egon, di desa Egon Gahar tampak rerumputan tampak mengering. Limabelas Juli 2016, kami tiba di dusun Galit, depan kantor kecamatan Mapitara, di rumah sepupuku yang pada bulan November 2016 baru saja berpulang ke hadirat Tuhan. Di rumah itu kami disambut acara adat Hulir wair dari Moat Aler, lalu tentu saja selanjutnya, suguhan minuman "beralkohol" lokal Moke yang terkenal dari bumi Sikka. 

     Lalu hari-hari berikutnya, selama hari-hariku di Mapitara, teguk demi teguk Moke masuk dalam perutku, rasanya aku ingin sekedar melepaskan kepenatan dengan minum moke, bukan saja sebagai kewajiban adat Mapitara. Moke, gunung egon, hutan-hutan dan pekebunan mente, kelapa, dll menghiasi hari-hariku di Mapitara. Ritus-ritus adat, makan daging dan minum moke mengisi hari-hariku di sana. Tanah Mapitara, tanah subur, membekaskan muntahan abu Vulkanik dari gunung egon bertahun-tahun lampau hingga hari ini.

 "Letusan besar pertama tahun 1930-an, juga letusan besar pernah terjadi 25 Juli 2004, sedangkan letusan besar terakhir terjadi 15 Pebruari 2016 selama 21 hari. Tidak ada korban nyawa manusia. Hanya patah, luka dan celaka akibat panik saat menyelamatkan diri", kata Moang Tribusius, saudaraku yang kini terpilih menjabat sebagai pemangku adat Halehebing.

    Disebut juga tanah Mapitara, tanah ini juga menjadi tumpuan para pelaut lokal dalam menyelusuri pantai-pantai Flores Timur bertahun-tahun. "Dengan perahu kecil, saya sudah banyak kali menyelusuri laut ini hingga ke pulau-pulau Flores Timur: Solor, Adonara dan lembata untuk mencari ikan" kata moat Eli. Sebuah tanah sepotong di pantai selatan pedalaman Flores-tengah yang menyimpan sejarah peradaban, sejarah petualangan laut lokal, dan sejarah kebersamaan dengan gunung egon. 

Dengan menumpang pesawat Wings Air menghantarkan aku kembali ke medan tugas. Pesawat yang membawaku terbang di ketinggian 13.000 kaki melayang di atas pulau Flores dan laut Sawu itu tentunya akan menghantar aku  untuk kembali memulai rutinitas: mengajar dan mendidik lagi. Bagiku, liburan dan kunjungan adat tentu akan ada lagi di masa depan, di tempat luluhurku dari ayah berada ini......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun