Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Alumnus Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Tahun 2008. (1). Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat", (2). A Winner of Content Competition of Class Miting for Teachers Period Juli-September 2022. (3). The 3rd Winner of Expat.Roasters Giveaway 2024.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pendidikan Membuat Kita Selalu Tampil Berkelas

24 Desember 2015   18:03 Diperbarui: 25 Desember 2015   02:22 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="Ilustrasi: M Latief/KOMPAS.com"][/caption]Kemanusiaan kita memang satu namun menyimpan misteri. Misteri karena tiap individu manusia itu unik sebagai manusia yang secitra dengan Allah sendiri, tak dapat direduksi meskipun dalam kebudayaan manusia. Setidaknya ini yang dapat saya pahami dengan menyimak perjalanan hidup saya. Saya terlahir dari darah campuran antara beberapa subbangsa asli di NTT. Ayahku seorang bermarga da Iry Moang Bapa, salah satu subsuku berbahasa Sikka di Halehebing-Sikka-Flores-NTT. Bahasa ibu ayahku ialah bahasa Sikka. Pendidikannya mulai Volksschule, Standardschule di Sikka-Lela, lalu selesai di Ambachonderwijs. Semuanya ialah sekolah zaman Belanda.

Boleh dibilang pendidikan ayahku terpandang untuk orang-orang se-subsukunya pada zaman kolonial Belanda yang masih sederhana karena zaman penjajahan Belanda, antara lain karena ayahnya seorang pemangku tuan tanah besar saat itu. Tiga tahun setelah pengakuan kemerdekaan RI oleh Belanda, pada tahun 1952, ayah tiba bersama 3  orang tamatan Ambachonderwijs Maumere untuk pembangunan misi Katolik di Timor. 

Ibuku memiliki darah Dawan dari ayahnya dan darah Tetum dari ibunya semuanya di NTT, menyebabkan ibu berbicara 2 bahasa sekaligus Tetum dan Dawan namun lebih banyak tetum karena ia sejak kecil dipelihara oleh kakeknya di rumah adat tetum. Pendidikannya juga lumayan yakni SR lalu KRT Atambua didikan para suster Eropa.

Setelah ayah dan ibu menikah kami tinggal di Halilulik sampai sekarang. Tinggal di lingkungan subbangsa berbahasa tetum membuat bahasa dalam keluarga ialah bahasa tetum; ayah, ibu dan kami semua fasih berbahasa tetum sehingga orang bilang kami asli subangsa Tetum. Ini karena secara rutin nenekku memanggil kami masuk rumah adat subbangsa Asulaho di Nurobo. Subsuku Asulaho juga ada di Halilulik, saudara seketurunan nenek,  tempat di mana kami tinggal, Sehingga orang-orang Halilulik mengatakan bahwa leluhur kami asli Tetum di Naitimu. Meskipun demikian, secara patriarkat, saya tetap merasa minder manakala menyebut namaku Blasius Mengkaka karena nama ini jelas nama pemberian untuk leluhur ayah yang asli Halehebing.

Dengan nama famku yang bukan asli Tetum ini, maka jadilah saya sering merasa kurang memiliki bahasa tetum bahasa kelahiran nenekku. Namun saya sadar bahwa saya harus mengambil sikap. Pada satu sisi, saya tidak bisa memakai pakaian adat Halehebing dari ayah karena bahasa Sikka saya paham secara kurang mendalam. Jadilah kalau saya menghadiri acara adat, saya memakai pakaian adat tetum-Kusa, tais Kusa-Tetun dari kelas Loro pemberian nenekkku sebagai pakaian adat. Karena bahasa ibu nenekku tetum maka saya bisa menyesuaikan diri dengan bahasa tetum sampai saat ini.

Meskipun kata orang bahwa keturunan pendatang sering jadi warga kelas 2, bagi saya tidak sama sekali. Ini disebabkan kelas pendidikan ayah yang tinggi melampau orang-orang tetum di lingkungan saya, ayahku yang tamatan sekolah Belanda yakni Ambachoderwijs membuat kami sebagai anak mendapatkan fasilitas orang tua sebagai keturunan tingkat pertama karena terpelajar.

Kesimpulan saya, pendidikan ayah yang tinggi sejak zaman Belanda telah membuat kami percaya diri di sini, tampil percaya diri. Fasilitas pendidikan ayah yang tinggi kudapatkan ketika saya menyelesaikan pendidikan SMA dengan beasiswa penuh dari Eropa. Hingga tamat Sarjana, saya tetap ada jaminan sedikit dari Eropa. Luar biasa, syukurlah pendidikan ayah yang tinggi sejak zaman Belanda membuat kami tetap menjadi warga kelas 1, warisan Belanda. Dengan pendidikan tinggi zaman Belanda, tampaknya ayah berhasil mengatasi halangan tradisi. Pendidikan memang segalanya.

Pendidikan kita membuat kita tetap percaya diri, tetap berkelas dalam masyarakat. Kita semua ternyata memiliki kemanusiaan yang sama bila memiliki pendidikan tinggi. Saya selalu menegaskan untuk para siswa/i saya bahwa jangan pernah berputus asa mengejar pendidikan tinggi dengan rajin belajar. Kalau kita punya pendidikan tinggi kita akan mampu menyelesaikan halangan tradisi dan membuat kita bahagia, sukses dan diberkati Tuhan serta bangga sebagai orang Indonesia.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun