Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Alumnus Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Tahun 2008. (1). Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat", (2). A Winner of Class Miting Content Competition for Teachers Period July-September 2022. (3). The 3rd Winner of Expat.Roasters Giveaway 2024.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Pesan Perdamaian Dibalik Nama Desa Tulakadi-Belu-NTT

28 Juni 2015   18:52 Diperbarui: 28 Juni 2015   18:52 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

    Batu asah modern

     Adigium kuno Romawi: siapa ingin damai bersiaplah untuk perang, ternyata merupakan adigium universal yang berlaku juga bagi para warga negara. Tak terkecuali para warga berbagai desa biasa di Indonesia. Tanpa sadar di desa-desa kita, berbagai peralatan pertahanan diri diciptakan dan disiapkan demi menciptakan perdamaian. Perdamaian di ujung bumi manapun selalu berkonotasi dengan persiapan perang. Siapa mau damai, dia harus bersiap untuk perang. Untuk itu, dalam penelusuran pribadi, saya tertarik tentang nama sebuah tempat di Belu yang berhubungan dengan persiapan perang dalam nama sebuah desa bernama desa Tulakadi.

     Secara harafiah, Tulakadi ialah nama sebuah desa di Belu-NTT. Nama Tulakadi ternyata berasal dari 2 kata bahasa tetum yakni Tula=menyimpan, Kadi=batu asahan. Tula artinya menyimpan di suatu tempat yang cukup terhormat. Artinya menyimpan batu asahan pada suatu tempat di rumah/pondok yang cukup terhormat.

     Nama Tulakadi menarik perhatian saya karena nama ini menyimpan sebuah kata benda yang memiliki makna purba yakni kata Kadi yang artinya batu asahan. Kata benda Kadi tampaknya, kurang diperhatikan orang atau disepelehkan orang namun memiliki makna kunci dalam pengertian keamanan dalam sebuah kampung atau desa di Indonesia. Masing-masing daerah di Indonesia memberikan nama untuk batu asahan. Batu asahan ialah peralatan dari zaman batu Neolitik yang tersebar merata di seluruh pelosok tanah air dan hingga kini masih tetap dipakai oleh sebagian besar penduduk desa-desa untuk mengasah parang, tombak, pisau, dll.

     Pada hampir semua daerah di Indonesia, batu asahan ini hingga saat ini masih tetap dipakai oleh hampir semua penduduk, termasuk penduduk Belu untuk mengasah parang, pisau atau tajaman lainnya. Menjadi kebiasaan ialah bahwa biasanya Kadi selalu diletakkan pada setiap rumah di mana kepala keluarganya merupakan petani. Bila keluarga itu petani, pastinya di samping rumahnya selalu ada Kadi atau batu asahan. Kenyataan ini bukan saja ditemui di Timor-NTT, namun hampir semua penduduk NTT serta penduduk Indonesia lainnya yang penduduknya bermata pencaharian petani, pasti memiliki batu asahan itu di samping rumahnya.

     Nah, menurut analisis saya, keberadaan batu asahan di samping rumah bisa bermakna atau beraroma pertentangan atau permusuhan. Oleh karena parang atau pisau atau tajak yang diasah sering mengarah kepada aktivitas pengerjaan ladang, sawah dan kebun, maka selalu saja terjadi perselisihan di sana-sini. Perselisihan merebut tanah untuk sawah atau ladang bisa bermula dari penggunaan Kadi atau batu asahan purba. Selain untuk mengasah barang-barang tajaman untuk kerja kebun, kehadiran batu asahan ini juga bisa berarti ancaman perang, perselisihan serta kewaspadaan akan munculnya pertentangan atau perang antara individu atau antar kampung untuk merebut hegemoni atau kekuasaan tertentu.

     Realitas dan fakta telah berbicara bahwa di rumah-rumah penduduk desa yang ada batu asahan atau kadi di sampingnya, selalu menunjukkan para pemiliknya pernah terlibat dalam berbagai pertentangan, pertengkaran yang sering berakhir dengan pembunuhan atau saling baku potong. Banyak kejadian telah membuktikan demikian meskipun tidak semua warga desa mengalaminya.

     Untuk menciptakan perdamaian, salah satu cara utama terbaik ialah melakukan Tulakadi yakni menyimpan Kadi atau batu asahan baik-baik di rumah agar tidak digunakan lagi untuk melakukan asahan terhadap benda tajaman. Menyimpan batu asahan dalam arti memberikan kesempatan kepada orang untuk tidak melakukan aktivitas mempertajam benda-benda berbahaya seperti parang, tombak, busur atau pisau. Dengan itu perdamaian bisa terwujud apabila orang menghentikan sama sekali aktivitas menajamkan pisau, parang/pedang, dll, yang berhubungan dengan tajaman, karena tajaman dalam arti tertentu menampakkan ancaman akan bahaya perang atau pertikaian.

     Jadi nama primal tempat Tulakadi artinya menyimpan Kadi atau batu asahan purba Neolitik sebenarnya ingin memberikan pesan perdamaian kepada masyarakat desa untuk menghindari aktivitas siap tempur dengan menajamkan benda-benda berbahaya di rumah seperti pedang atau pisau yang mengancam perdamaian dan kesejahteraan bersama.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun