Saat ini pintu gerbang perbatasan Indonesia-Timorleste masih terus dijaga dengan sangat ketat oleh aparat keamanan dua negara (Indonesia-Timorleste). Penduduk seperti diberikan brain washing bahwa Timorleste itu kacau, dan bahwa keadaan sangat sulit di Timorleste sehingga masyarakat menjadi takut untuk bepergian ke Timorleste. Padahal itu semua belum tentu benar. Sementara itu, truk-truk yang membawa berbagai kebutuhan hidup tetap melaju menuju ibu kota negara, Dili.
Perdagangan Indonesia-Timorleste masih tetap terjadi dan mayoritasnya ialah suplay bahan-bahan kebutuhan pokok dari Indonesia yang dipasarkan di Dili melalui truk-truk dari arah NTT. Truk-truk itu bisa saja ikut memuat besin atau solar, kita tidak tahu namun yang pasti bahwa semuanya bisa saja terjadi tanpa kita duga.
Meskipun memiliki anggota keluarga tinggal di Timorleste, penduduk tak bisa menyeberang dengan lancar ke sana. Padahal di seberang sana ialah sanak saudara sendiri. Sebagai jalan keluarnya, pemerintah pernah memfasilitasi pertemuan rutin antara warga yang kini berlainan kewarganegaraan di Motaain, meskipun masih keluarga kandung. Sejarah memang sering sangat kejam karena ikut serta memisahkan anggota keluarga sendiri.
Mendulang Dolar
Sekarang ini, di negara Timorleste berlaku mata uang Dolar, yang memungkinkan pergerakan antara Dolar dan Rupiah menjadi tinggi di kawasan perbatasan RI-Timorleste. Tak sedikit warga Indonesia kelahiran Timorleste yang pulang kampung memboyong keluarga dengan jalur resmi, pulang membawa oleh-oleh berupa Dolar lalu ditukarkan di toko-toko untuk membawa kembali rupiah. Ada berbagai Toko yang menyediakan layanan tukar Dolar baik di kota Atambua maupun di Betun. Dua Kabupaten ini memang direncanakan akan menjadi tempat transaksi pertukaran Dolar ke Rupiah karena berbatasan langsung dengan Timorleste.
Ironi Pasukan Penjaga Perbatasan
Salah satu ironi pasukan penjaga perbatasan ialah bahwa pasukan penjaga perbatasan asal Indonesia bukan orang Timor-Indonesia melainkan tentara (TNI) dari luar Timor-Indonesia. Sedangkan pasukan tentara Timorleste merupakan orang asli Timorleste yang memahami budaya, bahasa, adat istiadat dan hal-hal tentang Timor. Ini menjadi ironi tersendiri bila berhadapan misalnya dalam latihan tempur di hutan-hutan, maka dipastikan tentara Timorleste lebih unggul karena telah menguasai medan alam Timor.
Saat ini pintu perbatasan sangat ketat dijaga. Namun tak sedikit penduduk asli yang mengambil jalan tikus menuju atau pulang dari Timorleste. Timorleste  ialah tanah airnya, sehingga mereka jauh lebih paham Timorleste dari pada para penjaga perbatasan yang mayoritasnya bukan orang asli Timor. Bisa jadi bahwa pasukan TNI kita ada yang berlagak tahu, padahal mereka merupakan orang baru. Tentara perbatasan Timorleste ialah orang asli Timorleste, sedangkan pasukan perbatasan Indonesia ialah mayoritas tentara bukan asli Timor.
Pemerintah tampaknya perlu paham, bahwa mendatangkan pasukan dari luar Timor-Indonesia akan menyulitkan resikonya pasukan itu butuh fasilitas yang 'mewah', lalu akan sedikit anti penduduk asli, memilih tinggal di markas dari pada duduk berdua, berkelompok atau sendiri di hutan-hutan dengan hanya ditemani burung dan pepohonan hutan. Pilihan terakhir merupakan keharusan karena memang itu semua karena sarana dan prasarana TNI di perbatasan sangat minim, namun hanya mengandalkan penguasaan alam.
Jangan sampai kekalahan seperti yang terjadi dalam Referendum akan terulang kembali. Patut diakui bahwa tentara Timorleste akan cepat menguasai keadaan alamnya dibandingkan TNI dari Batalion luar NTT. Zaman sekarang bukan zaman tahun 1975 atau tahun 1999, di mana waktu itu, tentara hanya mengandalkan informan atau pasukan bantuan tempur yang terbanyak diambil dari warga lokal yang diberikan seragam HANSIP atau WANRA.
Oleh karena pasukan penjaga perbatasan kurang menguasai alam, banyak transaksi terus berjalan secara gelap terjadi juga melalui jalan tikus atau pasar gelap. Transaksi-transaksi itu kemudian menghasilkan Dolar dan kemudian ditukarkan pada berbagai Toko Tukar Dolar cepat di kota Atambua dan Betun.