Kalimat Kecerdasan tetap, kesalehan bisa hilang, saya baca dan saya dengar ketika saya bersekolah di Seminari Menengah antara tahun 1989-1994. Setahu saya, kalimat ini aslinya dari sebuah pepatah dalam bahasa Latin. Saya sudah lupa kalimat ini yang aslinya dalam bahasa Latin. Pada suatu kali, seorang siswa teman kelas kami membaca kalimat ini dalam teks bahasa Latin untuk seluruh kelas. Ketika romo menterjemahkannya dalam bahasa Indonesia, kami baru tahu bahwa teks itu artinya Kecerdasan tetap, kesalehan bisa hilang dan sejak saat itu kamipun menjadi hafal kalimat hingga saat ini. Menurut romo guru (kalau saya tidak lupa), kalimat ini mengandung kebenaran sebab kalimat ini sudah berumur tua dalam bahasa Latin dan penemunya ialah seorang ahli pikir yang cerdas dan telah berpengalaman dalam kehidupan.
Ketika diminta penjelasan tentang arti kalimat ini, romo guruku memberikan contoh dalam hidup harian di Seminari. Dia berkata bahwa seorang siswa Seminari yang selalu rajin berdoa di kapela, hidup saleh, jujur, benar, tidak menjamin untuk kemudian dia bisa lulus Seminari dan menjadi Imam Katolik bila dia selalu mendapat nilai merah, tidak lulus ujian umum atau kurang pandai membaca, menulis dan berbicara. "Artinya bahwa kesalehan akan lenyap namun kecerdasan tetap. Nilai kerohanian bertumbuh dari kecerdasan otak, emosional dan kecerdasan spritual. Tentunya kecerdasan juga harus didukung oleh kesehatan dan kekuatan fisik, mental dan kerohanian", tambah romo guru ketika itu.
Sudah lama saya menerima kebenaran ini, meskipun sering jatuh bangun dalam memahaminya. Boleh dikatakan bahwa sekarang ini banyak orang lebih memilih untuk menjadi cerdas dan hal itu dirasa sangat bagus bagi tumbuhnya nilai-nilai kerohanian. Orang memahami bahwa dalam kecerdasan akan tumbuh nilai kerohanian. Kecerdasan yang didukung oleh kesehatan fisik dan mental harus menyata atau lahir dari kenyataan konkrit. Contoh nyatanya ialah bahwa dengan  saya yakin terhadap kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual, saya selalu sukses berkendaraan motor setiap hari ketika akan mengajar di Sekolah. Sekolah tempat saya mengajar berjarak 21 km dari rumahku. Itu berarti saya harus menempuh 42 km untuk pergi dan pulang setiap hari. Di tengah jalan, saya berhadapan dengan banyak kendala yang membuat saya harus memeras otak, tenaga, mental dan iman sebab jika tidak resiko besar akan terjadi manakala saya kurang waspada.
Kecerdasan bahkan amat menentukan kehidupan. Kecerdasan dalam segala aspek kehidupan membuat kita semakin matang. Namun kematangan hidup saja belum cukup. Seorang pribadi harus mencapai tahap lanjut dalam kecerdasan pribadi yakni pribadi yang purna diri. Saya membaca istilah pribadi purna diri ketika hidup selama 4 tahun di biara. Di sana saya belajar lewat bacaan bahwa pribadi purna diri terjadi ketika pribadi itu mengintegrasikan segenap kecerdasan itu dalam dirinya sendiri.
Lebih lanjut, saya memahami bahwa kecerdasan itu membuat orang berumur panjang bahkan bisa dikenang abadi, sedangkan kesalehan saja dapat membuat orang bisa mati dan bahkan hilang. Para ahli misalnya: Aristoteles, Â Heidegger, Alfa Edison, dll hingga kini namanya abadi karena hasil penemuannya berguna bagi seluruh dunia. Mereka tetap dikenang. Unsur kejeniusan membuat mereka dihormati dan dikenang abadi.
Hendaknya kecerdasan manusia harus membawa dirinya, sesamanya dan dunia menuju kebaikan dan kebenaran bersama. Itulah nilai tertinggi dari kecerdasan. Bila kecerdasan digunakan untuk penipuan dan kejahatan maka itu bukan kecerdasan namun kesetanan, dan kita tidak boleh bersekutu dengan setan. Sayangnya bahwa nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang merupakan norma tertinggi kecerdasan berbeda dari setiap bangsa di dunia. Sebagai bangsa yang pernah dijajah, Indonesia memiliki kekayaan-kekayaan yang berasal dari nilai-nilai kebaikan dan kebenaran itu telah diambil dan disimpan penjajah. Hal ini memang wajar karena orang Eropa lebih dahulu mendapat pencerahan sebelum bangsa kita. Lihat saja, banyak buku-buku tentang kekayaan intelektual bangsa kita disimpan di Belanda/Eropa, AS dan bahkan Australia. Untuk mempelajari sebuah tempat, peristiwa dan masyarakat yang berhubungan dengan ilmu Sejarah, Sosiologi dan Antropologi-Budaya  di tanah air saja, kita harus membuka sumber yang berada di Eropa, AS dan Australia.
Lebih lanjut dikatakan bahwa kecerdasan berhubungan dengan manusia, sejarah dan subjek. Kecerdasan berhubungan dengan penciptaan manusia (baca: pembentukan manusia) yang berasal dari dialog dan kesepahaman antara bangsa-bangsa. Kecerdasan pun berhubungan dengan kesetaraan dan kesamaan. Alangkah sedihnya bila kita berbicara tentang kecerdasan dalam situasi di mana masih ada perbedaan ekonomi, intelektual, teknologi dan ilmu, budaya, sosial dan politik antara negara-negara dunia pertama, dunia kedua dan dunia ketiga. Negara-negara yang sudah maju harus menolong negara-negara yang belum maju. Orang yang sudah tahu harus menolong orang yang belum tahu agar tercipta kesamaan dan kesetaraan. Nyatanya, kekayaan-kekayaan dunia ketiga dan kedua yang direbut oleh penjajah zaman lampau itu, kini datang lagi dalam bentuk pesawat-pesawat supercanggih dan teknologi persenjataan supermodern dengan daya bunuh superhebat yang setiap tahun diproduksi. Padahal uang untuk produksi itu merupakan milik negara-negara miskin atau dunia ketiga. Marilah kita terus memupuk kecerdasan dalam segala aspek kehidupan, dengan didukung oleh karakter dan kesehatan fisik dan mental, dengan itu bangsa Indonesia akan tetap eksis di negeri sendiri. Semoga!
________________________
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H