Oleh: Puplius Meinrad Buru-Bere
Catatan Pendahuluan : Artikel ini ditulis oleh Publius Meinrad Buru-Bere, SVD, seorang imam SVD, kelahiran Lahurus-Belu-Indonesia. Pendidikan Seminari Menengah diselesaikannya di Lalian-Belu. Sedangkan pendidikan teologi diselesaikannya di Austria, tepatnya beliau menyelesaikan pendidikan Magister Teologi di Universitas Wina, Austria. Setelah tahbisan imam di Austria, dia kini berkarya sebagai pastor di sebuah paroki di Austria. Dalam artikel ini, beliau menuliskan pemikirannya tentang orang Melus dan orang Belu. Dia meyakinkan kita bahwa terdapat perbedaan antara orang Belu dan orang Melus. Orang Melus diyakini sebagai penghuni pertama wilayah Belu, sebelum datangnya orang Belu (beberapa abad) sebelumnya. Tulisan ini memuat sumber dari penelitian Vorklage, seorang etnolog Belu asal Belanda yang melakukan penelitian di wilayah Belu pada zaman kolonial. Diceriterakan bahwa pada masa lampau, sering terjadi pertentangan antara orang Melus dan orang Belu dalam proses saling rebut dominasi eksistensi di wilayah Belu yang pernah terdiri dari sebuah kawasan yang luas meliputi wilayah Belu kini dan wilayah Malaka. Dengan menuliskan kembali tuturan lisan dari orang tua lalu ditambah dengan analisis Vorklage, artikel ini cukup memperkaya pemahaman kita tentang adanya proses pembauran atau asimilasi yang memperkaya manusia Belu. Orang Belu, sebagaimana orang-orang Indonesia lainnya, diyakini merupakan hasil dari proses asimilasi atau percampuran budaya dari pelbagai kebudayaan yang pernah lama eksis di bumi Indonesia ini. Silahkan mengikuti uraian berikut ini.
***
Tergerak oleh sumber lisan tentang keberadaan suku bernama Melus di wilayah Belu (Timor), saya coba membuat suatu penelitian perpustakaan guna mebuktikan kebenaran sumber lisan yang didengar sejak kecil, sekaligus mencoba merumuskan sebuah tulisan ilmiah tentang seluk-beluk suku Melus, yang diyakini sebagai suku penghuni awal di wilayah Belu dan Timor bagian tengah sebelum kedatangan leluhur orang Belu lainnya.
Melus hingga kini merupakan satu kata yang terkesan agak tabu dan bermakna sindiran bila diperbincangkan dalam kehidupan masyarakat Belu (atau paling tidak di tengah masyarakat Fialaran di Belu bagian Utara). Terkesan tabu karena bila diperbincangkan, dengan sendirinya kata ini akan merunjuk pada sekelompok masyarakat yang merasa (atau memang) leluhurnya berasal dari suku Melus, sementara karena cerita lisan tentang persaingan antara leluhur beberapa suku pendatang (di Belu) dan suku pemilik tanah (Melus, atau dikenal dengan sebutan ai oan-fatuk oan) telah meninggalkan kesan sindiran untuk orang Melus sebagai suku yang sangat kikir (ai sosa – we sosa: bahkan kayu dan air pun harus harus dibeli dari mereka) dan terbelakang. Istilah Melus telah menjadi begitu tabu, karena para suku penguasa di Belu ingin megambil jarak dari cerita dan kesan negatif dari suku pemilik tanah dan gunung ini (ema foho nain – ema rai nain), sementara kebanyakan dari mereka sendiri merupakan turunan dari suku ini.
Pada liburan musim panas tahun 2008 saya coba menunjukkan Perbandingan foto orang Melus dan orang Belu yang pernah dibuat P. Vrocklage. Ciri fisik orang Melus sangat menyerupai ciri fisik dari para penguasa di Belu utara yang merupakan turunan asli dari Bauho ataupun dari Lasiolat. Dari sini terkuaklah tema yang selama ini ditabukan. Pada zaman dahulu, waktu „tuir bei leut“, dihadapan para raja, sampai batas tertentu para makoan hanya mengatakan „ran la manas – isin la besi“. Ini merupakan bahasa kiasan bahwa mereka tidak berani secara terus terang menyebutkan leluhur dan turunan mereka pada generasi kedua-ketiga, karena hal ini akan menyinggung perasaan para penguasa, sebab mereka sebenarnya juga berasal dari turunan suku Melus. Selain itu para raja sendiri takut bahwa mereka akan diberhentikan oleh pemerintah (Belanda) seandainya pemerintah tahu bahwa mereka bukanlah pemilik tanah yang asli, sementara banyak orang melus waktu itu pun mulai sadar akan politik dan berani mengakui bahwa mereka sebenarnya adalah pemilik tanah yang asli. Masih ada desas-desus yang mengatakan bahwa Loro Bauho, peguasa pertama di wilayah Timor bagian tangah dan yang merupakan pengasal dari kebanyakan penguasa di wilayah ini, adalah orang Melus. Anggapan ini didasarkan pada klaim bahwa mereka adalah penguasa asli dan tertua serta pemilik tanah dan gunung. Dan ini hanya mungkin leluhur suku Melus. Demikian pula penguasa Lasiolat sebelum Leowes adalah orang Melus. Seandainya para raja di Belu mengklaim bahwa mereka adalah turunan asli dari Leluhur pertama yang turun dari gunung Lakaan (lalu menyebar ke seluruh Belu sebelum kedatangan suku-suku lain), maka dapat dipastikan bahwa leluhur mereka itu adalah juga orang Melus. Selain itu ada kemungkinan bahwa leluhur Loro Lakekun sebelum mereka mengikat diri dengan Wehali berasal dari suku Melus, karena dikisahkan bahwa raja pertama mereka datang dari Manuaman Lakaan, yang kemudian diusir karena dia menuntut paha manusia (bukan paha binatang) dalam urusan adat, sehingga akhirnya mereka berpaling pada Wehali.
Adalah peniliti Bernardus Andreas Gregorius Vroklage, Profesor Etnologi pada Universitas Nijmegen Belanda yang menaruh perhatian pada cerita tentang suku ini. Tuan Vroklage (demikian nama yang sering disebutkan orang-orang tua di Belu) membuat penelitian Etnologi dan Antropologi di Belu pada tanggal 8 Januari sampai akhir Juli tahun 1937, dengan lokasi utama di Lahurus untuk Belu bagian utara dan di Tubaki untuk Selatan. Dalam penelitiannya, dia menggunakan Jasa penerjemah yang fasih berbahasa Tetun, Melayu dan mengerti bahasa Belanda. Tiga penerjemah yang disebutkan dalam bukunya Ethnographie der Belu in Zentral –Timor, Jilid I1, adalah A. A. Bere Talo (bupati pertama Belu, yang waktu itu adalah raja Kewar/Lamaknen); Dominikus Kau Faru (Nai Debuderok, waktu itu menjabat Fetor Lasiolat) dan Petrus Bau seorang Katekis kelahiran Atapupu yang mangajar dan sangat memahami persoalan adat dan masyarakat di Belu Selatan.2
Dalam buku tersebut Tuan Vroklage menulis secara terperinci tentang keberadaan suku Melus di Belu. Di Wehali, lembah selatan kemungkinan tidak ada dan tidak ditemukan lagi anggota suku Melus. Hanya di We Oe (Wewiku) diceritakan bahwa dahulu kala di sana menetap orang Melus. Lelaki Melus bernama Meri dan istrinya: Nura. Turunan mereka ada yang menetap di Wewiku, ada yang ke ke Hatimuk dan Wehali. Tetapi karena mereka tidak senang tinggal di sana, akhirnya ada yang pergi ke Rai Lor (di Likusaen) dan ada yang ke Kusa. Turunan mereka kemudian ke Nanaet lalu terus ke Lakaan dan kemudian ke Bauho dan menyebar hingga ke Balibo. Hanya para makoan waktu itu tidak mengetahui dari mana orang Melus ini datang. Ada kemungkinan bahwa mereka kembali ke kerabt mereka di kaki gunung Lakaan. Sementara itu di Alas dikatakan bahwa, pada waktu itu anggota suku Melus telah berasimilasi atau melebur secara total dengan suku Belu (suku yang datang dari seberang lautan). Di Bakataruik (Mandeu), kemungkinan anggota suku Melus diundang oleh orang Dawan untuk tinggal bersama di daerah mereka. Di Dafala dan Lasiolat Tuan Vroklage menulis secara terperinci tentang keberadaan suku ini. Demikian ditulisnya, orang Melus sebenarnya adalah penghuni awal dan pemilik wilayah ini pada waktu kedatangan leluhur orang Belu.Leluhur orang Belu, terutama dua suku besar Leowes dan Astalin (Asutalin) kemudian mengalahkan orang Melus dan menduduki wilayah ini terutama di Sarabau, Lasiolat, Asumanu, Aitoun dan Maumutin dan membagi wilayah tersebut di antara mereka. Vroklage bahkan menyinggung juga bagaimana cara mereka berperang dan persenjataan yang digunakan. Senjata yang digunakan orang Melus adalah: busur dan anak panah serta pentungan, sementara orang Belu menggunakan Tombak dan senjata api yang kemungkinan dirampok dari orang Portugis atau merupakan hadiah dari orang Portugis.Mereka berperang secara tradisional dan membunuh dengan cara tipu daya. Demikian dilukiskan pula pembunuhan saat mereka bersama menempa besi sampai pembunuhan waktu penangkapan Musang (Laku) dan Kus-kus (kmeda). Dikisahkan bahwa (Cat.: kisah ini bisa dibandingkan dengan cerita lisan yang yang beredar sampai sekarang – dalam bab berikut mengenai Legenda sumber air Lahurus) suatu ketika Meo dari Astalin dan pemimpin Leowes mengundang pemimpin (atau meo) dari Melus untuk menempa besi di Klokes (Haliren - Lasiolat). Awalnya sang pemimpin Melus yang memegang pemukul sementara Meo Astalin menjagi api, sedang pemimpin Leowes hanya menonton sambil mengawasi. Kemudian sang Meo Astalin berkata “sekarang biarkan saya yang menempa dan engkau manjaga api”. Sang pemimpin Melus memberikan pemukul kepada Meo Astalin, dan seketika itu juga ia memukul tengkuk sang Melus hingga tewas. Pemimpin lainnya diajak Meo Astalin dan pemimpin Leowes untuk mecari kayu di hutan untuk dijadikan arang. Di hutan mereka melihat bekas garukan musang (Laku) dan kameda (kus-kus) di pohon. Ketika sang pemimpin melus menyodorkan kelewangnya kepada sang meo yang memenjat pohon, dia menerima kelewang itu lalu menikamkannya ke sang Melus hingga tewas. Orang Melus merasa ketakuatan karena para pemimpin mereka telah dibunuh, akhirnya melarikan diri ke Seon di Dirma dan sebagian ke Tubaki di wehali. Tetapi sebagian orang Melus tetap menetap di wilayah ini, terutama di dua perkampungan yakni di Mota Ain dan Ai Kamelinren. Tetapi waktu penelitian ini berlangsung, mereka tidak memiliki lagi bahasa dan adat sendiri dan sudah kawin dan membaur dengan suku Tetun (Belu) dan taat di bawah kekuasaan suku Leowes yang memerintah daerah ini.
Tuan Vroklage kemudian menulis secara terperinci, bagaimana pergaulan orang Belu dan orang Melus pada waktu itu3. Jika seorang Belu mengunjungi satu keluarga Melus, semenjak keluar dari rumahnya dia tidak boleh menoleh ke belakang, dan di saat duduk dia harus duduk menghadap kearah rumahya sendiri. Seandainya dilanggar maka dia akan sakit. Seadainya seorang Belu menerima sirih pinang dari orang Melus, dia hanya boleh sekali menuangkan kapur ke tangannya, kalau tidak giginya akan rontok. Nasib yang sama juga akan dialami seorang Belu kalau dia dengan sengaja atau tidak sengaj merusak pagar di kebun orang Melus.
Di Silawan terjadi hal sebaliknya. Leluhur orang Tetun (Belu) dan Melus membaur, bersahabat dan hidup bersama secara damai. Orang Melus belajar menggunakan api dari orang Belu, sebelumnya mereka menyantap makanan menta. Dan tentang keberadaan suku ini di Lidak, Vroklage menulis bahwa di sana digunakan ungkapan Melu Mau Ketu Mau untuk menyebut orang Melus. Waktu kedatangan leluhur orang Belu, mereka menerima secara baik dan hidup membaur serta kawin mawin di antara mereka. Dengan demikian tanah milik orang Melus bisa diwariskan dan dibagi kepada orang Belu.4
Mengenai pertanyaan apakah orang Melus pernah memiliki bahasa sendiri, perlu diteliti lebih mendalam. H.J. Grijzen yang juga pernah mendalami bahasa tetun, berpendapat bahwa bahasa Tetun di Belu bagian selatan (Fehan) sudah merupakan suatu campuran dengan bahasa tua dari suku Melus5. Tetapi kemudian pendapat ini dibantah oleh Vroklage, dengan mengatakan bahwa bahasa Tetun di Belu bagian selatan hanya merupakan satu dialek dari bahasa tetun, bahasa orang Belu. Penulis sendiri beranggapan bahwa kemungkinan untuk memiliki bahasa sendiri bagi orang Melus sangat kecil. Dari sumber lisan yang dituturkan oleh beberapa ahli dan toko adat Fialaran dapat disimpulkan bahwa orang Melus sebenarnya adalah juga satu suku yang bersaudara dengan suku Leoklaran, hal ini berarti bahwa mereka juga adalah penutur bahasa Tetun sama seperti orang Leowes dan Astalin.
1 B.A.G. Vroklage, Ethnographie der Belu in Zentral – Timor. E.J. Brill, Leiden,1953
2 Vroklage, S. IXff