Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Guru profesional Bahasa Jerman di SMA Kristen Atambua dan SMA Suria Atambua, Kab. Belu, Prov. NTT. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bila Mental Prefeksionis Dapat Membatasi Kebebasan

26 April 2014   04:07 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:11 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sekali peristiwa beberapa teman kelas saya menegur saya, "Blasius matamu rabun ya? Kok cara melihatmu sedikit terpaksa, matamu nampak rabun". Itu kata teman-teman kelasku 15 tahun lalu, saat saya kuliah Filsafat. Tentang teguran kawan-kawanku ini saya cuma membathin. Saya tahu jawabannya bahwa memakai kaca mata belum cocok untuk saya ketika itu sebab saya orangnya gampang bergerak dan ceroboh.

Lagipula memakai kaca mata itu pertanda bahwa orang bermental prefeksionis, segala sesuatu maunya sempurna. Sakit sedikit saja inginnya berobat di RS, demikianpun mata berminus sedikit langsung berupaya untuk memasang kaca mata. Sebagai orang beriman saya percaya bahwa kondisi mata saya masih bagus kok. Bahwa saya merasa sedikit rabun bila membaca jarak jauh, itu ialah hal manusiawi. Bahwa semakin saya bertambah umur, matapun semakin berubah sejalan dengan efek kemampuan intelektual, emosi dan juga pengaruh pantulan cahaya. Lagipula, hidup manusia selalu merupakan anugerah Tuhan, sering terjadi bahwa keajaiban Tuhan selalu muncul tak terduga bersmaan dengan doa-doa serta efek hidup, istirahat dan makan bergizi dan teratur akan bisa ikut menyembuhkan mata yang rabun.

Pendidikan kita tak dapat dipungkiri ikut menciptakan situasi prefeksionisme itu. Para pendidik kita sering bertindak over dosis, misalnya dengan memberikan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran para siswa/i tanpa mempertimbangkan secara lebih dalam dengan akal budinya. Tindakan para pendidik sering sangat over dosis, dan hal itu dapat menumbuhkan mental prefeksionis itu muncul ke permukaan. Tidak adanya toleransi yang berimbang bagi pelanggaran mengakibatkan mentalitas prefeksionis ini akhirnya tercipta juga. Akibatnya orang akan sulit berkembang. Toleransi antara sesama menjadi lemah. Orangpun mulai bertumbuh dalam tegangan dan berindikasi pada sikap tidak menerima keterbatasan diri.

Padahal manusia memiliki banyak kekurangan. Manusia bukanlah Tuhan. Manusia selalu tidak sempurna atau tidak prefek. Ia selalu bergulat dengan keterbatasan diri. Maka seharusnya para pendidikpun perlu menyadari keterbatasan diri ini untuk sedapat mungkin menyadari bahwa manusia tidak prefek atau sempurna. Dirinya juga malahan tidak sempurna, apalagi diri para siswa/inya. Semua sama-sama tidak sempurna.

Dalam sejarahnya, gereja Katolik tua (Altkirkhe) yang menekankan sikap prefeksionis dalam pelaksanaan ajaran gereja akhirnya menemukan gerakan-gerakan reformis dalam tubuh gereja. Gerakan reformasi mengakibatkan gereja akhirnya terpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang sulit dipersatukan kembali selama berabad-abad. Itu disebabkan karena ajaran gereja ketika itu lebih banyak diwarnai oleh semangat prefeksionis terhadap tradisi dan sejarah gereja. Sebagai akibat dari mental prefeksionis, maka puncaknya pemisahan gereja-gereja dari tradisi gereja Katolik. Sejak saat itu, gerejapun perlu  menyadari bahwa gereja perlu berbenah diri. Konsili Vatikan II telah menjadi momentum paling utama bagaimana gereja Katolik berbenah diri dan mulai perlahan-lahan mengeluarkan dirinya dari tradisi prefeksionisme gereja.

Kalau kita menerima kebenaran bahwa mental prefeksionisme itu dapat membahayakan kita maka kita harus jujur dan menerima semua manusia apa adanya dengan keterbatasan keluarga, kondisi keuangan, relasi, tingkat kesulitan dan sebagainya. Dalam pendidikan, semua persoalan itu terbuka bagi pendidik. Hendaknya seorang pendidik perlu menerima semuanya itu dan berjuang untuk lebih menekankan aspek kualitas dan nilai-nilai kehidupan.

Pertemuan dan kebersamaan selalu perlu disyukuri. Apalagi kebersamaan yang membujat kita semakin mencintai satu sama lain demi nilai. Dalam kebersamaan selalu saja ada unsur-unsur yang saling melengkapi. Itu semua menjadikan kebersamaan kita menjadi lebih hidup dan mampu menumbuhkan harapan untuk menatap masa depan kita masing-masing. Tak seorangpun yang hidup di dunia sempurna adanya. Marilah kita mencoba untuk lebih bersabar dan belajar untuk melihat penghargaan kehidupan sebagai tujuan kita dengan mana kita patut yakin bahwa kehidupan memang patut disyukuri, selalu dicintai, selalu dipelihara...

Itulah pertimbangan utama mengapa sering mental prefeksionis yang membahayakan kehidupan dan penghargaan terhadap hak azasi manusia itu perlu ditolak. Pada batas-batas tertentu, mentalitas prefeksionis harus mengabdikan diri pada kehidupan dan penghormatan terhadap martabat manusia universal.

__________________________________

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun