Di kota, Sekolah dan Kos-kosan tampaknya sudah menyatu erat bagaikan 2 mata uang. Sekolah tanpa Kos-Kosan serasa kurang berwarna dan lengkap, apalagi Sekolah itu merupakan sekolah populer dengan peserta didik ribuan orang dan terletak di pusat kota pula. Kos-kosan selalu ada di perkotaan. Itulah warna kehidupan perkotaan. Demikianlah di sekitar sekolah, khususnya SMA/SMK, apalagi di kota  selalu ada rumah petak untuk Kos-Kosan.
Rumah untuk Kos-kosan biasanya menyediakan sebuah kamar, dengan atau tanpa teras kecil. Sebuah rumah luas dengan kamar yang dibuat berdampingan membentuk petak-petak berukuran sekitar 2x3 meter, itulah yang disebut Kamar Kos. Selain itu ada kamar mandi dan WC yang dipakai bersama. Untuk air disediakan air sumur dengan kualitas air yang tampak berkapur bila di masak. Itulah sebabnya setelah memasak air orang perlu menyaringnya agar menjadi bersih dan layak konsumsi.
Memang ada air PAM, untuk itu perlu membayar. Kos-kosan bagi para mahasiswa/i atau siswa/i biasanya tidak ada layanan air PAM, paling-paling air sumur, namun perlu kecepatan untuk menimbahnya karena penggunanya banyak. Demikianlah realitas pendirian Kos-Kosan di sekitar Sekolah, tempat saya menjadi pendidik sejak tahun 2005 hingga saat ini  di Jln. HBS da Costa Atambua. Di samping kanan Sekolah memang ada Kos-Kosan untuk anak sekolah, di muka sekali ada deretan Kios-Kios, sekaligus tempat tinggal pemiliknya. Sedangkan di belakangnya ada saluran kali kecil buangan air dari dapur atau kamar mandi penduduk atau juga industri-industri, misalnya industri pengolahan tahu-tempe, industri roti, dll.
Pada tahun 2005, ketika saya mulai mengajar di SMA Kristen Atambua, keadaan lingkungan masih sunyi, belum seramai sekarang. Rumah-rumah penduduk juga jarang. Di samping Sekolah ada rumah Mama Mina bersama keluarganya yang memiliki halaman cukup luas berdampingan dengan halaman sekolah yang juga tak seberapa luasnya. mama Mina membuka warung makan atau kantin Sekolah untuk para siswa/i atau para guru. Saya sering makan juga di kantin milik Mama Mina. Seporsi haranta Rp 4000-Rp5000. Di dalam porsi itu ada telur goreng/ikan/daging, nasi, mie, dll. Cukuplah untuk dapat bertahan hidup. Menurut ceritera Kepala Sekolah, Abraham Dakamolly, SM bahwa kompleks Sekolah itu dahulunya merupakan tempat ibadah bagi umat Kristen, tempat di mana juga ada rumah tinggal yang disiapkan gereja Timor-Timur/GMIT ketika terjadi peristiwa eksodus tahun 1999 yang lalu. Di situ juga ada tempat tinggal Pdt Filomeno da Costa Soares, SMTh, seorang pendeta dari Gereja Timor-Timur yang ikut eksodus ke Indonesia bersama hampir semua jemaatnya.
Namun sayangnya ketika perluasan gedung Sekolah, rumah tinggal Pdt Soares akhirnya dibongkar dan di tempatnya berdiri gedung Sekolah SMA Kristen Atambua. Selanjutnya rumah tinggal Pdt. Soares bersama keluarganya dipindahkan ke lokasinya yang baru di Tenukiik. Pdt. Soares akhirnya bergabung menjadi salah satu staff pengajar juga di SMA Kristen Atambua sekaligus sebagai pembimbing rohani/guru BP/Wakek Humas/guru agama di SMA Krsiten Atambua. Dia seorang yang ulet, rajin, kuat dan sehat.
Setiap kali saya melewati Kosa-kosan itu, saya tak pernah menemukan seorang penghunipun. Padahal letak Kosa-kosan itu persis di samping Sekolah. Kalau penghuninya ialah para siswa/i maka tentu mereka akan cepat sekali menjangkau sekolah karena letaknya yang persis di samping Sekolah. Namun para siswa/i atau guru-guru bujang yang belum memiliki rumah sendiri, rupanya tidak mau tinggal di Kosa-Kosan itu. Sayang sekali. Gedung Kosa-Kosan itu tampak sunyi tak berpenghuni. Para siswa/i atau guru-guru bujang lebih memilih tinggal bersama keluarga. Hal itu lebih praktis dan murah, selain tidak membayar juga lebih banyak kesempatan untuk belajar dengan tenang. Saya pikir, hal ini tentu kurang menguntungkan bagi para pemilik kos di Atambua sebab Kos-kosannya tidak diminati.
Itulah resiko hidup di perkotaan, tanpa rumah tanpa sanak keluarga. Satu-satunya harapan ialah menyewa Kos. Tambahan pula hidup di Kos-kosan memang sering penuh resiko. Sejak dahulu, Kos-kosan menyimpan potensi kekacauan dan berbagai kejahatan. Banyak tuduhan dilancarkan kepada para penghuni Kos, misalnya: menjadi sarang kejahatan dan sarang pelecehan seksual.
Pada umumnya para penghuni Kos kaum mahasiswa/i atau siswa/i yang hanya tinggal beberapa tahun selama sekolah lalu pergi lagi. Namun juga ada banyak yang merupakan pekerja industri kota atau para PNS/Polisi muda. Ada yang mengeluh bahwa hidup di Kos memang sering susah meskipun tidak selalu susah, bila semuanya mengandalkan uang kiriman orang tua. Apalagi bila ekonomi orang tua juga sering morat-marit.
Namun itulah resiko hidup tanpa rumah tinggal tetap, di mana lamanya tinggal tergantung uang di dompet, tergantung kelancaran pembayaran gaji lagi pula karena keuangan mandek selalu terlambat dalam membayar sewa Kos dan dampak lainnya muncul banyak tuduhan dari para pemilik Kos kepada penghuni Kos-kosan.
Bagaimanapun para penghuni Kos selalu mendambakan punya rumah sendiri, punya halaman sendiri atau kintal sendiri, meskipun rumah itu jelek atau halaman itu kotor dan sunyi namun milik sendiri lebih bagus apalagi bagi orang yang sudah bekerja dan sudah berkeluarga. Biar jelek yang penting memiliki sendiri, nanti toh dalam perjalanan waktu, melalui usaha keras dan bekerja tanpa henti, rumah yang jelek dan sunyi itu akan terus ditata menjadi lebih bagus dan ramai.
Saya tidak tinggal di Kos-kosan namun saya tinggal di rumah orang tua. Jarak dari rumah ke Sekolah dapat saya tempuh dengan motor dalam waktu 30 Menit saja karena kondisi jalan rayanya bagus dan lurus. Kalau saya melewati Nenuk di hutan Jati Nenuk, persis saya melaju di atas jalan Tol. Orang tuaku mewariskan saya sebuah tanah yang cukup luas di Halilulik. Saya berencana untuk mendirikan rumah sendiri di atas tanah itu. Oleh karena itu saya bersyukur memiliki orang tua yang baik hati. Salam sukses dan selamat bermimpi untuk memiliki rumah sendiri bagi para penghuni Kos-kosan!