[caption id="" align="aligncenter" width="768" caption="Ilustrasi kompasiana / Kementrian PU"][/caption]
Embung Haekrit Belu-NTT ternyata menyimpan pesona wisata yang menawan. Data dari Kementerian PU menyebutkan bahwa Embung ini dibangun antara tahun 2007-2009 oleh PT Waskita Karya untuk irigasi dan penyediaan air bersih dengan memakan biaya Rp 34,8 M. Embung Haekrit terletak di desa Manleten, dusun Bauatok, 5 km dari kota Atambua. Daya tampung Embung Haekrit ialah 2,2 juta meter kubik dengan luas genangan mencapai 62 ha.
Selain itu sumber PU juga menyebutkan bahwa Embung Haekrit memiliki daerah tangkapan air atau total area sebesar 29,4 km dengan kemampuan mengairi daerah irigasi potensial 300 ha. mampu mensuplay air bersih sebesar 30 liter perdetik untuk desa-desa di sekitar Embung dan sebagian kota Atambua. Ukuran Embung Haekrit selengkapnya: Ukuran tanah sepanjang 260 m, tinggi 15,5 m dan lebar puncak Embung 5 m.
Mencermati bentuk fisik dari Embung Haekrit, Â pikiran kita langsung tertuju pada tanggul angin yang dibuat untuk menahan lumpur Sidoarjo di jalan raya Porong. Namun ada juga daya pesona yang tersimpan di sana yakni pesona daya tarik wisata yang menawan. Sejak 2009, Embung Haekrit selalu ramai oleh para pengunjung, hanya untuk sekedar duduk dan menikmati suasana sore atau suasana siang sambil terus memandang hamparan air yang tenang dan membiru di depan mata. Birunya air Embung mengingatkan orang akan birunya lautan yang sedang tenang. Hembusan semilir angin sejuk menerpa tubuh, menambah nikmatnya orang untuk berlama-lama duduk dan merenungi keindahan danau buatan manusia itu.
Embung Haekrit yang tenang tetap menampilkan pesona di pedalamam Timor yang gersang, dengan sejuta kedamaian dikala orang melewati sore dengan suasana bias-bias cahaya mentari yang perlahan redup.
Menikmati sore yang indah sambil merenung bersama pasangan hidup, keluarga atau kawan, terasa begitu indah. Memang Embung Haekrit menampilkan sejuta pesona wisata yang menawan dan damai. Pelataran "pantai"nya luas dan megah dengan rerumputan, pada ketinggian, membuat suasana sangat mendukung pengunjung untuk sejenak merenung dan menatap keagungan Tuhan dalam pesona danau buatan manusia itu.
Embung Haekrit, engkau memang mempesona, indah menawan serta damai dengan panorama air Embung yang tenang, tempat orang muda menyatukan hati dan mengikat janji, tempat orang memutuskan jalan hidup dalam kedamaian dan pesonamu.
Sabtu, jam 14.00 Wita, saya bertemu dengan Herman, seorang kepala dusun desa Manleten, yang membawa saya untuk bertemu dengan Bapak Andreas Luan, sang penjaga Embung Haekrit. Kami bertemu di rumah kepala dusun Herman di Manleten. Dia membawa saya ke tempat Andreas Luan. Sesuai dengan adat, saya harus membeli sebotol tuak asli Belu sebagai tanda persahabatan saya dengan penjaga Embung Haekrit. Kami singgah di pasar Atambua. Dan tepat 20 menit dengan motor, kami tiba di lokasi embung Haekrit di rumah Andreas Luan.
Di sana dia dan isterinya menyambut kami dengan suguhan sirih pinang. Kami berbicara akrab dan saya bertanya tentang keadaan Embung. "Kami pemilik lahan, Embung Haekrit, pak. Pemerintah Belu menggantikan Rp 4,5 juta setiap 1 ha lahan yang digunakan untuk Embung Haekrit," kata Andreas Luan. Dengan basa-basi itu, saya akhirnya lebih leluasa memotret Embung Haekrit setelah makan sirih pinang di rumah Bapak Andreas, sebuah suguhan adat penyambutan tamu.
Saya (tengah) bersama Andreas Luan (kiri) penjaga adat Embung Haekrit dan Herman, kepala dusun Desa Manleten di samping Embung Haekrit sedang makan sirih pinang, diterima sebagai anggota keluarga sendiri  (Foto: Dokpri)