Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Alumnus Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Tahun 2008. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Lebih dari Sekedar Nilai

12 Agustus 2014   05:12 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:46 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari-hari Sekolah telah mulai. Di kelas tempat saya mendidik, para siswa/iku tampak rapi dengan pakaian putih-abu-abu, menunggu guru datang di kelas. Beberapa siswa/i pria tampak mondar-mandir di ruangan. Dan ketika guru masuk kelas, mereka mengekpresikan kegembiraan dengan menyalami guru dengan kidmat. Saya merupakan salah satu guru yang masuk di kelas, dan itu bisa ditatap dengan lugu oleh siswa/i ini.

Pelajaran pertama berlangsung mulus, 30 menit pertama saya hanya berceritera tentang diriku sendiri, mengalir saja yakni tentang karyaku selama beberapa tahun berturut-turut sebagai guru. Sangat berat rasanya memulai pelajaran pertama, melatih vokal dan konsonan Jerman lalu mencoba menuntun mereka mengucapkan beberapa kata bahasa Jerman. Para siswa/iku tampak antusias. Tiba-tiba seorang siswi yang cerdas mengangkat tangan lalu berbicara dalam bahasa Indonesia. Dia meminta saya berbicara perlahan-lahan agar mereka bisa tangkap makna ilmu yang saya ajarkan.

Ah, siswi yang berani dan kritis. Dua menit aku mengulangi kata-kata "heissen", dengan penekanan pada huruf Esjet, sebuah huruf yang pada umumnya orang Indonesia rasa asing bagi mereka. Saya mencoba untuk memandang keliling pada seluruh ruangan kelas. Tampak lebih dari 42 pasang mata menatap ke arahku. Mereka adalah generasi Indonesia masa kini yang masih bisa belajar bahasa asing, bahasa Jerman. Dua detik, air mataku hampir menetes ke pipihku. Aku hampir menangis haruh menyaksikan generasi Indonesia yang perlahan-lahan beranjak makin remaja di tangan dan mataku sendiri. Ini anugerah Tuhan.

Ya, ini juga anugerah bangsa buatku,  bahwa aku, dengan pengetahuan bahasa Jerman yang hampir otodidak, bisa dipercayakan untuk mendidik dan menyaksikan kembang-kembang bangsa bertumbuh dalam ceriah. Tak henti-hentinya aku bersyukur kepada Sang Khalik atas rahmat besar ini. Telah bertahun-tahun, aku bertemu dengan sekitar 10 kelas dengan jumlah besar para siswa/i SMA muda dan berbakat. Mereka setia mendengar, meskipun tak jarang mereka sedikit nakal, ini membuatku sedikit puyeng. Ya, hari-hari sekolah kini telah tiba lagi. Dan keriangan tetap ada di kelas ini, seperti 11 tahun lalu, di kelas yang sama ini.

Sejak aku kuliah, aku telah berkeyakinan besar bahwa masa depan Indonesia ada dalam tangan Tuhan karena itu butuh sikap hati religius untuk bisa menyambutnya. Masa depanku itu perlu kusongsong dalam kematangan sikap religius, itu penting dan itu pula lebih dari sekedar nilai. Dan kini semuanya telah terbukti bahwa karya Tuhan itu lebih dari sekedar nilai.

Mendidik generasi muda sering membuat orang mengesampingkan nilai, apalagi demi nilai, banyak orang lain telah menjadi korban. Bisa jadi bahwa demi pemerataan, nilai itu ibarat roti yang musti dibagi rata di antara beberapa orang yang juga ingin menyantapnya secara adil yang karena "sesuatu hal" mereka sering menjadi tertunda kesuksesannya. Pada batas ini, saya hanya menyadari bahwa karya Tuhan memang lebih dari sekedar nilai sebab mengejar nilai berlebihan yang dipatok orang umum, sering bisa membawa orang kepada penindasan bagi sesama yang lain. Ketika demi memperoleh nilai itu, uang menjadi jalan terbaik untuk mendapatkannya. Dan patut diakui bahwa Sekolah adalah nilai dan juga bahwa di sekolah, orang harus mengejar nilai, itu penting dan merupakan tugas.

Di Indonesia, nilai-nilai sering lebih kepada saling menolong dan saling membantu. Bukan hanya para siswa/i namun juga guru-guru. Pendidikan di Indonesia sebaiknya berupaya untuk membuat semua komponen sekolah hidup bersama secara adil, termasuk untuk saling membantu dan menolong agar semuanya dapat berkembang maju. Pada sisi ini, pengejaran kualitas harus lebih dari sekedar nilai-nilai, dia harus beranjak jauh menembusi relung-relung hati untuk saling berbagi, saling mencintai untuk hidup bersama secara adil dan beradab, saling membantu dan menolong tanpa pamrih.

Pada akhir ziarah untuk mendapatkan nilai, orang-orang muda mesti sadar bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekedar nilai. Sesuatu itu bahwa orang harus mengosongkan diri bagi dirinya, bagi sesamanya untuk hidup dan berbagi, menolong dan mencintai. Ini memang sulit tapi perlu perjuangan dan proses untuk mencapainya.

________________________

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun